Sayembara Penulisan Naskah Buku Pengayaan Tahun 2013
Pusat Kurikulum dan Perbukuan Badan Penelitian dan Pengembangan
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
=========================================
Upaya mengembangkan karakter positif terhadap anak-anak sedini mungkin.
KUPU-KUPU HITAM PUTIH
By M. Tadir
Pada suatu pagi
yang cerah, di pinggir sebuah hutan, dua kupu-kupu sedang bermain. Satu
berwarna putih dan yang satu lagi berwarna hitam.
Entah siapa yang
memulai, keduanya bertengkar. Kedua kupu-kupu itu saling membanggakan diri. Si
Putih berkata pada si Hitam, “Hai, Hitam, sayapku lebih bagus dari pada
sayapmu!” Si Hitam tak mau kalah, “Tidak, sayapku lebih indah daripada sayapmu!”
Bunda Kupu-Kupu mendengar pertengkaran itu. Bunda Kupu-Kupu tidak
memarahi mereka. Bunda Kupu-Kupu mendekati si Hitam dan si Putih.
“Hitam, Putih, ayo
ikut Bunda!” ajak Bunda Kupu-Kupu dengan lembut.
“Ke mana Bunda?”
tanya si Hitam dan si Putih bersamaan.
“Ikut Bunda
jalan-jalan, yuk,” ajak Bunda Kupu-Kupu.
“Ayo, Bunda,” jawab
keduanya berbarengan dengan semangat.
Bunda Kupu-Kupu, si
Hitam, dan si Putih segera terbang. Mereka terbang ke dalam hutan. Di depan
mereka ada seekor ulat. Ulat itu sedang makan daun.
“Kita istirahat
dulu di sini,” ajak Bunda Kupu-Kupu pada si Hitam dan Si Putih. Ketiga
kupu-kupu itu hinggap di daun tidak jauh dari ulat itu.
“Lihatlah ulat itu!”
suruh Bunda Kupu-Kupu.
“Ah, aku takut,
Bunda,” kata Si Putih.
“Aku jijik Bunda,” kata si Hitam.
“Baiklah, kita
teruskan ke sana,” kata Bunda Kupu-Kupu sambil menunjuk ke dalam hutan. Lalu
mereka bertiga terbang ke dalam hutan. Bunda Kupu-Kupu melihat kepompong.
Kepompong itu menggantung di sehelai daun.
“Kita istirahat
dulu di sini,” kata Bunda Kupu-Kupu. Kemudian mereka hinggap di sebuah ranting.
“Kalian lihat
kepompong itu?” tanya Bunda Kupu-Kupu.
“Ya, Bunda,” jawab si
Hitam dan Si Putih.
“Bagaimana menurut
kalian kepompong itu?” tanya Bunda Kupu-Kupu.
“Dia tidak
bisa bergerak bebas seperti kita,” jawab
si Hitam.
“Dia juga lemah.
Tidak kuat seperti kita,” jawab Si Putih.
“Coba kalian perhatikan terus kepompong itu,” kata Bunda Kupu-Kupu. Tidak
lama kemudian kepompong itu bergerak-gerak. Tiba-tiba dari bagian bawah
kepompong itu terlihat kepala. Sedikit demi sedikit kepala itu keluar dari
kepompong. Tak lama kemudian terlihat seluruh badannya. Badannya memiliki
sayap. Digerak-gerakannya sayap itu. Semakin lama sayap itu terlihat semakin
indah. si Hitam dan si Putih terheran-heran melihat hal itu. Lalu kupu-kupu
kecil itu terbang tinggi. Entah ke mana.
“Itu tadi apa,
Bunda?” tanya si Hitam dan Si Putih.
“Itu tadi kupu-kupu
seperti kalian,” jawab Bunda Kupu-Kupu.
“Ja…jadi kami dulu
seperti itu?” tanya si Hitam dan si Putih keheranan.
“Ya, kalian dulu
seperti itu,” jawab Bunda Kupu-Kupu.
“Maka dari itu,
kalian tidak boleh sombong. Tuhan menciptakan kalian berwarna-warni. Tuhan
memperindah dunia ini dengan warna-warna kalian,” kata Bunda Kupu-Kupu. si
Hitam dan si Putih mengangguk-angguk tanda mengerti.
Kemudian Bunda
Kupu-Kupu mengajak terbang lagi. Ketiganya terbang lebih jauh ke dalam hutan.
Dalam perjalanan itu, si Hitam dan si Putih tampak riang. Mereka sudah
melupakan pertengkaran tadi. Bunda Kupu-Kupu sangat senang hatinya.
Sejenak kemudian ketiganya
beristirahat di sebuah pohon yang rindang. Dari pohon itu si Hitam dan si Putih
dapat melihat pemandangan yang luas. Di sebuah lembah mereka melihat
segerombolan kupu-kupu. Gerombolan itu banyak sekali. Warna mereka juga
berbeda-beda. Mereka mengerumuni pohon yang berbunga sangat indah. Mereka
menari-nari sambil bernyanyi-nyanyi. Meskipun warna mereka berbeda-beda, mereka
sangat rukun. Semua tampak riang gembira.
Si Hitam dan si
Putih ingin sekali bergabung dengan mereka. Tetapi mereka harus meminta izin
dulu pada Bunda Kupu-Kupu.
“Bunda, bolehkah
kami bermain bersama mereka?” tanya si Hitam dan si Putih.
“Boleh, tapi kalian
tidak boleh nakal,” jawab Bunda Kupu-Kupu sambil tersenyum.
“Hai, teman,
kemarilah. Ayo ke sini. Jangan sungkan-sungkan,” kata kupu-kupu kuning.
“Ayo, teman,
bermain bersama kami,” kata kupu-kupu biru. si Hitam dan si Putih bergabung
dengan mereka. Si Hitam dan si Putih tampak riang gembira.
Bunda Kupu-Kupu
melihat mereka dari jauh. Bunda Kupu-Kupu hatinya sangat bahagia. Sekarang si
Hitam dan si Putih sudah mengerti. Perbedaan itu indah. Perbedaan tidak perlu
dipertentangkan.
Tiba-tiba terdengar
suara, “Kraook! … Kraook!” Semua yang sedang bermain terkejut. Seekor burung
gagak terbang mengitari mereka. Gerombolan kupu-kupu itu ketakutan. Mereka bersembunyi
di balik dedaunan.
Tiba-tiba terdengar
suara,”Ayo teman-teman jangan takut. Kita usir gagak itu.” Semua yang mendengar
terkejut. Mereka ingin tahu siapa si pemberani itu.
Si Hitam terbang di
pucuk pohon yang paling tinggi, diikuti oleh si Putih.
“Teman-teman, kita
harus bersatu melawan gagak itu,” kata si Hitam.
“Benar teman-teman.
Ayo kita bersatu mengusir gagak itu,” lanjut si Putih.
Segera mereka
membentuk barisan. Si Hitam dan si Putih memimpin di depan. Barisan kupu-kupu
itu tampak seperti ular naga yang meliuk-liuk. Barisan itu mengejar gagak.
Gagak terkepung. Ia merasa takut sekali. Kemudian ia terbang tinggi dan
meninggalkan gerombolan kupu-kupu itu.
“Hidup, Hitam !
Hidup, Putih !” teriak gerombolan kupu-kupu itu. Bunda kupu-kupu melihat semua
peristiwa itu. Hatinya sangat bahagia. Tuhan telah memberinya anak-anak yang
baik, yang mau membela kebenaran. Bunda Kupu-Kupu selalu bersyukur kepada
Tuhan.
=== TAMAT
===
NAGA API DARI PUNCAK MERAPI
By M. Tadir
Di sebuah hutan di
lereng Gunung Merapi, satu keluarga gajah sedang mencari makanan dan minuman.
Anak gajah itu masih kecil. Umurnya baru tiga tahun. Namanya Gabo.
Setiap
hari ia mengikuti orang tuanya pergi ke hutan untuk mencari makan.
Kadang-kadang ia tertinggal di belakang orang tuanya. Langkahnya yang masih
kecil tidak mampu menyamai kecepatan berjalan orang tuanya. Orang tuanya selalu
sabar menunggu anaknya yang sering tertinggal.
“Pak,
kasihan anak kita. Gabo tampaknya sangat letih,” kata ibu Gabo suat hari.
“Sebaiknya Gabo kita tinggal di rumah saja,” lanjut ibu Gabo.
“Jangan,
Bu,” kata ayah Gabo. “Dengan mengikuti kita ke hutan Gabo bisa belajar banyak
tentang alam dan kehidupan ini.”
“Aku
tahu tapi Gabo kan masih kecil,” kata
ibu Gabo.
“Sebenarnya
aku juga tidak tega, Bu. Tapi ini demi kebaikannya juga. Suatu saat Gabo akan
tumbuh dewasa. Ia akan memiliki keluarga sendiri. Apalagi ia laki-laki. Ia
harus kuat dan nantinya bisa mandiri.”
Dalam
hati ibu Gabo membenarkan ucapan suaminya, tapi ketika ia melihat Gabo yang
sering kelelahan ia menjadi tidak tega. Ingin rasanya ibu Gabo memanjakan anak
satu-satunya. Ia suruh Gabo tinggal di rumah saja. Namun bila teringat ucapan
suaminya tadi hatinya menjadi ragu.
“Gabo,
kamu capek, Nak?” tanya ibu Gabo.
“Tidak,
Bu. Gabo kan gajah yang kuat,” kata Gabo sambil mengibas-ngibaskan belalainya
yang kecil. Ibu Gabo tersenyum mendengar jawaban anaknya.
“Tapi
kamu sering tertinggal di belakang ayah dan ibu,” kata ibu Gabo sambil mengusap
keringat yang bercucuran di wajah Gabo.
“Gabo
kan masih kecil, Bu. Kalau nanti Gabo sudah besar seperti ayah pasti Gabo tidak
akan tertinggal lagi.” Kini ayah Gabo yang tersenyum mendengar jawaban anaknya
itu.
“Benar
kan Bu apa yang ayah bilang,” kata ayah Gabo kepada ibu Gabo.
“Gabo
memang anak yang kuat. Begitu kan, Gabo?” kata ayah Gabo sambil melihat anak
satu-satunya itu.
“Benar,
Ayah. Gabo memang kuat,’ kata Gabo sambil mengangkat dan mengoyang-goyangkan
satu kakinya. Karena mengangkat satu kakinya, Gabo kehilangan keseimbangan dan
terjatuhlah ia di atas rerumputan yang tebal. Kedua orang tuanya tertawa
melihat tingkah anaknya itu.
“Baiklah
kita istirahat sejenak di tempat ini. Kebetulan tempat ini sangat nyaman untuk
istirahat. Rumputnya yang hijau tebal dan dikelilingi pohon-pohon besar. Ah,
alangkah sejuknya udara di sini,” kata ayah Gabo sambil merebahkan badan di
atas rerumputan.
Tidak
jauh dari tempat mereka beristirahat terbentang lembah yang luas dan dalam.
Sepertinya lembah itu bekas jalan ular yang sangat besar. Dalam dan
berkelok-kelok.
Gabo
berdiri dan berjalan mendekati lembah itu. Ia berhenti di bibir jurang yang
sangat dalam dan luas. Gabo terheran-heran memandangi lembah itu.
“Gabo,
jangan terlalu dekat ke jurang itu! Nanti kamu terpeleset dan jatuh ke jurang,”
ibu Gabo memperingatkan anaknya.
“Ya,Bu.
Gabo akan berhati-hati,” jawab Gabo.
“Ayah,
bagaimana lembah ini bisa terjadi?” tanya Gabo kepada ayahnya.
“Kemarilah,
Nak! Ayah akan bercerita kepadamu mengenai lembah itu,” kata ayah Gabo sambil
bangkit dari tidurnya.
“Duduklah
di sini dekat ayah!” suruh ayah Gabo
Gabo
berjalan mendekati ayahnya kemudian duduk di sebelahnya.
“Pada
zaman dulu,” kata ayah Gabo memulai ceritanya. “Penghuni hutan percaya bahwa di
dalam Gunung Merapi itu hidup seekor Naga yang sangat besar. Naga itu keluar
pada saat-saat tertentu. Tidak ada satupun yang tahu kapan Naga itu keluar dari
Gunung Merapi. Kadang-kadang Naga itu keluar bersamaan dengan kabut yang
menyelimuti puncak gunung itu. Kadang-kadang Naga itu keluar terang-terangan di
siang hari. Seolah-olah ia ingin memamerkan kebesarn dan kekuatannya.”
“Naga
itu apa, Ayah?” tanya Gabo lugu.
“Naga
itu sejenis ular yang sangat besar dan mempunyai kaki,” jawab ayah Gabo.
“Ayah
akan melanjutkan ceritanya. Kamu masih mau mendengarkan cerita selanjutnya?”
“Ya,
Ayah,” jawab Gabo sambil menganggukan kepala.
“Sebenarnya
Naga itu tidak jahat. Ia keluar dari gunung untuk mengawasi daerah di sekitar
Gunung Merapi ini. Ia ingin memastikan bahwa tidak ada kerusakan hutan di
wilayahnya. Suatu kali, Naga itu keluar dari gunung dan menemui penghuni hutan
ini. “Hai, seluruh penghuni hutan ini,” kata Naga itu, “Jagalah hutan ini agar
tetap asri. Kalian bisa mengambil manfaat dari hutan ini asalkan tidak
melampaui batas. Berhati-hatilah dengan perilaku kalian terhadap hutan ini.
Kalau hutan ini rusak akibatnya akan menimpa diri kalian sendiri. Anak cucu
kalian akan menderita karenanya.”
“Para
penghuni hutan mendengarkan dengan seksama. Tidak ada satupun dari penghuni
hutan yang berani bicara. Mereka berjanji pada diri sendiri akan manjaga
kelestarian hutan ini selama-lamanya.”
“Kemudian
Naga itu berkata, “Suatu saat kalau aku bertemu dengan penghuni yang berbuat
kerusakan pada hutan ini, aku akan menghukumnya. Akan kusembur ia dengan api
yang keluar dari mulutku. Dan kalau kalian tetap menjaga hutan ini, aku
berjanji akan berjalan pada tempat yang sama. Aku akan selalu lewat lembah yang
ada di hutan ini. Tetapi kalau hutan ini
rusak aku akan mencari perusaknya dan aku akan berjalan semauku. Aku akan
mengacak-acak hutan ini sampai aku menemukan si perusak itu.”
“Nah,
Gabo. Itulah cerita yang turun- temurun di hutan ini,” kata ayah Gabo
menyelesaikan ceritanya.
“Jadi…Naga
itu masih berada di dalam Gunung Merapi, Ayah?”
“Ya,
Naga itu sampai sekarang masih tinggal di dalam Merapi. Ia akan selalu mengawasi
hutan ini.”
===
Sore menjelang
petang, Gabo dan orang tuanya baru saja tiba di rumah. Segera ibu Gabo menyuruh
anaknya untuk membersihkan diri. Begitu juga ayah dan ibu Gabo segera
membersihkan diri mereka masing-masing.
Setelah mandi badan
Gabo menjadi segar. Rasa penat yang dirasakannya tadi seolah-olah telah hilang.
Kemudian Gabo dan keluarganya makan malam bersama.
“Gabo, setelah
makan cepat tidur ya, Nak,” kata ibu Gabo.
“Sebentar, Bu.
Udara malam ini rasanya sangat panas. Gabo mau duduk-duduk sebentar di luar,”
kata Gabo kepada ibunya.
“Tapi jangan
lama-lama ya, Nak,” sahut ibu Gabo.
“Siap, Bu!” kata
Gabo sambil mengangkat belalainya membuat tanda hormat. Ibu Gabo tersenyum
melihat tingkah anaknya itu. Sedangkan ayah Gabo geleng-geleng kepala sambil
senyum-senyum melihat tingkah anaknya yang lucu.
Di luar rumah
suasana sepi. Hanya suara jangkrik dan katak yang terdengar. Udara terasa sejuk
bersama semilirnya angin. Dari tempatnya duduk, Gabo dapat melihat Gunung
Merapi yang menjulang tinggi. Memang tidak terlalu jelas, hanya samar-samar.
Tiba-tiba ayah dan ibu Gabo mendengar anaknya berteriak.
“Ayah! Ibu! Ada
ular besar!”
Ayah dan ibu Gabo
terkejut mendengar teriakan anaknya. Cepat-cepat mereka keluar dari rumah.
“Mana ularnya,
Nak?” tanya ayah dan ibu Gabo hampir bersamaan.
“Itu, Ayah,” kata
Gabo sambil menunjukkan belalainya ke arah Merapi.
“Oh, itu ya
ularnya,” kata ayah Gabo sambil tersenyum.
Dari tempat mereka
berdiri memang tampak benda bergerak meliuk-liuk seperti ular keluar dari
puncak Merapi. Benda yang meliuk-liuk itu berwarna merah seperti tubuh ular
yang mengeluarkan api. Gabo merasa takut melihat benda itu. Tak sadar ia
memegang erat-erat tangan ayahnya. Ayah Gabo mengerti perasaan anaknya.
“Gabo,” kata ayah
Gabo lembut sambil mengelus-elus kepala anaknya. Sedangkan ibu Gabo memeluk
anaknya erat-erat.
“Masih ingatkah kau
pada cerita Ayah siang tadi?” tanya ayah Gabo.
“Ya, Ayah. Gabo
masih ingat.”
“Itulah Naga yang
Ayah ceritakan tadi. Sebetulnya itu bukan Naga yang sebenarnya. Benda yang kamu
lihat meliuk-liuk seperti ular itu namanya lahar.”
“Apakah tidak
berbahaya, Ayah?”
“Selama hutan ini
belum rusak, lahar itu akan mengalir pada jalannya yang telah ada. Jalan lahar
itu adalah jurang yang kamu lihat tadi siang. Lahar itu akan mengalir pada
tempat yang tidak membahayakan penghuni hutan ini. Sekarang kamu mengerti,
Gabo?”
“Ya, Ayah. Sekarang
Gabo mengerti.”
“Nah, sekarang
saatnya tidur,” kata ibu Gabo.
Mereka bertiga
kembali masuk rumah. “Selamat tidur sayang. Jangan lupa berdoa ya!” kata ibu
Gabo sambil mengantarnya ke kamar.
Seraya berbaring di
tempat tidur, Gabo berkata dalam hati,”Nanti kalau aku sudah dewasa akan kuajak
semuanya menjaga dan melestarikan hutan ini.”
=== TAMAT
===
KISAH BANGUNAN TUA
By M. Tadir
Sebut saja aku Kakek Tua. Umurku memang sudah tua. Aku sendiri lupa berapa umurku sekarang. Yang kutahu aku sudah ada sejak zaman penjajahan Belanda. Dulu aku memiliki banyak teman. Kini aku sendiri, kesepian.
Dulu
pada saat perjuangan memperebutkan kemerdekaan aku banyak dikunjungi orang.
Jelek-jelek begini, aku adalah kawan seperjuangan para pahlawan. Mereka sering
mengunjungiku pada saat-saat tertentu. Kadang-kadang mereka bertemu di tempatku
untuk mengatur siasat menyerang Belanda. Kadang-kadang mereka juga
mengunjungiku sekedar melepaskan lelah setelah seharian berjuang di medan
perang.
Malam
ini terasa sunyi bagiku. Tiada orang yang memedulikanku. Hatiku terasa pedih.
Beginikah balasan terhadapku? Memang aku sudah tua. Sudah tidak menarik lagi.
Apalagi di sekitarku sekarang berdiri bangunan-bangunan megah. Ada perkantoran,
perusahaan dan pertokoan. Aku terjepit di antara mereka.
Pada
malam-malam seperti ini aku selalu teringat masa-masa silam. Pada saat terang
bulan di malam hari, anak-anak bermain di halamanku. Mereka bermain-main dengan
riangnya. Kadang-kadang mereka sampai lupa waktu. Mereka berhenti bermain
ketika orang tua mereka menyuruhnya pulang. Senangnya mengenang saat-saat itu.
Sekarang
semua itu tinggal kenangan. Kenangan yang akan kuingat selama aku masih ada.
“Kek,’
tergagap aku mendengar ada yang memanggilku. Oh, rupanya si Tikus yang
memanggilku.
‘Ada
apa, Nak?”
“Kenapa
Kakek bersedih?”
“Aku
tidak sedih, Nak.”
“Ah,
Kakek jangan berbohong. Dari tadi aku melihat Kakek duduk termenung. Dan aku melihat
Kakek berdesah berkali-kali. Itu kan tandanya Kakek sedang bersedih. Iya kan
Kek?”
“Ya…ya
Kakek kalah deh, kamu yang menang. Benar Nak kakek sekarang sedang sedih sekali.
“Kenapa
Kek?”
‘Saudara
Kakek tadi pagi ke sini. Ia bilang kemungkinan Kakek tidak lama lagi ada di
dunia ini.”
“Mengapa
begitu, Kek?”
“Katanya
Kakek akan diganti dengan yang lebih muda dan lebih bagus. Mungkin memang sudah
nasib Kakek mengalami hal itu. Kakek sadar akan semua itu. Kakek sekarang sudah
tua dan tidak menarik lagi. Kakek sudah tidak berguna lagi di mata sang Raja.”
“Tidak!.
Kakek tidak boleh pergi!. Kakek tidak boleh meninggalkan dunia ini!”
“Kakek
tahu perasaanmu, Nak. Bagi kalian yang sudah lama mengenal dan bergaul dengan
Kakek, perasaan itu memang wajar, tapi apa daya kita, Nak?”
“Kami
akan membantu Kakek supaya tetap tinggal di sini.”
“Apa
yang akan kamu lakukan, Nak. Kakek tidak akan mengizinkan kalian menggunakan
kekerasan demi membela Kakek. Tidak!…kekerasan tidak akan menyelesaikan
masalah. Kekerasan hanya akan membawa dendam di kemudian hari. Kita akan saling
mendendam dan akhirnya kita akan terpecah belah. Kakek sudah melihat dan
mengalami sendiri bahwa kekerasan hanya akan membawa kepada kehancuran.”
“Tidak
Kek. Kami tidak akan menggunakan kekerasan. Kami akan mencari cara yang
sebaik-baiknya untuk mempertahankan Kakek tetap di sini.’
‘Kalian
berani berjajnji kepada Kakek kalau kalian tidak akan menggunakan kekerasan?”
‘Kami
berjanji, Kek.”
‘Baiklah
kalau begitu. Kakek mengizinkan kalian menghadap sang Raja.’
======
Sinar
mentari menyirami bumi. Cahayanya menghangatkan udara yang dingin sisa tadi
malam. Para Tikus sudah bangun. Hari ini
mereka akan menghadap sang Raja. Mereka akan mengenakan pakaian yang paling
bagus yang mereka miliki.
Setelah selesai
berbenah mereka segera memulai perjalanan mereka menuju kerajaan. Jarak
kerajaan dari rumah mereka memang agak jauh. Mereka harus melewati hutan yang
lebat untuk sampai ke kerajaan.
Di
tengah perjalanan di dalam hutan mereka mendengar burung-burung bernyanyi. “Ah, alangkah senang
menjadi burung, bisa terbang dan bernyanyi merdu,” kata mereka dalam hati. “Tidak
seperti kami para Tikus yang tidak bisa apa-apa.”
‘Ah,
tidak. Semua ciptaan Tuhan pasti ada gunanya. Tidak mungkin Tuhan menciptakan
makhluknya dengan sia-sia,” bantah mereka di dalam hati.
“Selamat
pagi para Tikus,” sapa Kutilang. “Sepagi ini kalian sudah sampai di hutan. Ada
apa gerangan?“
“Kami
akan ke kerajaan menghadap sang Raja. “
“Hah,
ke kerajaan? Ada perlu apa?” Kutilang sangat terkejut mengetahui para Tikus
ingin pergi ke kerajaan.
“Ada
keperluan yang mendesak. Kami akan membantu Kakek.”
“Ada
masalah apa dengan Kakek?” tanya Kutilang.
“Kakek
akan disuruh pergi dari tempat itu.”
“Oh,
Kakek disuruh pergi?”
“Ya.
Makanya, kami akan menghadap sang Raja supaya membatalkan rencana itu.”
“Perjalanan
kalian masih sangat jauh. Kalian masih harus melewati bukit dan lembah itu.”
“Tidak apa-apa. Kami
sudah bertekad menolong Kakek.”
“Kalau begitu aku
ada usul,” kata Kutilang. “Bagaimana kalau aku dan teman-temanku membantu
kalian?”
“Maksudmu?” tanya
para Tikus terheran-heran.
“Kami akan
mengantar kalian ke kerajaan. Kalian akan lebih cepat sampai ke sana.”
“Bagaimana
caranya?”
“Nanti kalian akan
tahu.”
Kutilang lalu bersiul
keras sekali. Rupanya ia memanggil teman-temannya. Sesaat kemudian, beberapa
burung Kutilang meluncur dan hinggap di dekat mereka.
“Teman-teman mari
kita bantu para Tikus ini pergi ke kerajaan.”
“Ayo, naiklah
kalian ke punggung kami. Kami akan mengantar kalian lewat udara.”
Alangkah senang
para Tikus itu. Mereka akan terbang bersama para Kutilang. Mereka sudah lama
ingin merasakan enaknya bisa terbang. Sebentar lagi keinginan mereka akan
terpenuhi.
Tidak lama kemudian
meluncurlah beberapa Kutilang melesat ke udara. Masing-masing membawa Tikus di
punggung mereka. Para tikus itu sangat takjub melihat pemandangan dari angkasa.
Di bawah mereka terhampar hutan hijau yang luas. Di antara pepohonan mengalir
sungai yang jernih, berkilauan airnya diterpa sinar matahari.
“Sungguh
mengagumkan ciptaan Tuhan. Kita harus menjaganya dengan baik,” kata para tikus
itu di dalam hati.
Namun demikian
perjalanan yang menyenangkan itu harus berakhir. Sampailah mereka di depan
gerbang kerajaan. Para Kutilang meluncur turun tidak jauh dari gerbang kerajaan
itu.
Rombongan Tikus itu
segera menuju gerbang hendak menghadap sang Raja. Sesampainya di gerbang mereka
dihentikan oleh penjaga.
“Berhenti! Mau kemana
kalian?”
“Kami mau menghadap
sang Raja?”
“Kalian mau
menghadap sang Raja?” Penjaga itu bertanya dengan kasar.
“Ya, kami akan
menghadap sang Raja?” jawab para tikus dengan tegas.
“Ada keperluan
apa?”
“Kami menginginkan
keadilan.”
Sementara itu sang
Raja yang sedang bersantai di ruang depan mendengar rebut-ribut itu. Sang Raja
keluar dari ruang itu. Ia melihat serombongan Tikus yang sedang bersitegang
dengan penjaga.
“Hai, penjaga. Ada
apa ribut-ribut?” tanya sang Raja
“Para Tikus ini
hendak menghadap Paduka,” jawab si penjaga.
“Biarkan mereka
masuk.”
“Baik, Paduka
Raja.”
Para Tikus lalu diantar
si penjaga menghadap sang Raja. Sang Raja menerima mereka di ruang tamu. Ruang
tamu itu sangat luas. Dindingnya dihiasi berbagai lukisan yang indah-indah.
“Silahkan duduk,”
kata sang Raja dengan ramah.
“Terima kasih,
Paduka Raja.”
Ternyata sifat sang
Raja tidak seperti yang dibayangkan para Tikus. Para Tikus itu mengira bahwa
sang Raja memiliki watak yang keras dan menakutkan. Kini setelah mereka
berhadapan dengan sang Raja kesan itu tidak ada sama sekali. Sebaliknya, sang
Raja sangat ramah dan menyenangkan.
Mengetahui sifat
sang Raja yang demikian, maka timbullah keberanian mereka untuk segera
menyampaikan keperluan mereka. Namun sebelum mereka menyampaikan maksud mereka,
sang Raja mendahului bertanya.
“Ada kepentingan
apa kalian menghadapku?”
“Ampun, Paduka
Raja. Sebenarnya kami menghadap Paduka Raja bukan untuk kepentingan kami
sendiri,” kata ketua rombongan Tikus itu.
“Coba kamu
ceritakan masalahnya,” kata sang Raja
“Kami ingin
membantu Kakek mengatasi kesulitannya.”
“Ada apa dengan
Kakek?” tanya sang Raja.
“Beberapa hari ini
Kakek sedang bersedih. Kakek mendengar kabar kalau sebentar lagi ia harus pergi
dari tempat ia tinggal sekarang. Kami tidak tega melihat Kakek bersedih.
Kasihan! Kakek sudah tua dan tinggal sendiri. Saudara-saudaranya sudah banyak
yang pergi entah kemana. “
“Oh, masalah itu.
Ya…ya aku mengerti,” kata sang Raja sambil mengangguk-anggukkan kepala.
“Bagaimana sebaiknya
menurut Paduka Raja?”
Sang Raja tampak
berpikir sejenak, kemudian katanya,”Aku tahu Kakek itu besar jasanya kepada
kerajaan. Pada masa mudanya dulu, meskipun ia tidak ikut pergi ke medan perang
namun jasanya tidak kalah dengan prajurit-prajurit yang ikut berperang. Ia telah
berjuang dengan caranya sendiri. Ia member perlindungan kepada para prajurit
ketika para prajurit merasa kelelahan. Ia juga memberi perlindungan kepada para
prajurit yang sedang terluka dan masih banyak lagi jasa-jasanya.”
“Begitulah yang
juga hamba dengar, Paduka. Lalu menurut Paduka Raja bagaimana sebaiknya?”
“Sebenarnya
perintahku bukan untuk mengusir Kakek itu. Mungkin kalian salah memahami berita
yang kalian dengar. Sekali lagi kutekankan, aku tidak akan mengusir Kakek itu.”
“Lalu bagaimana,
Paduka?” tanya ketua Tikus tidak sabar.
“Begini…” sang Raja
berhenti sejenak lalu kata sang Raja, ”Aku ingin memberikan bintang jasa kepada
si Kakek. Aku akan memberikan barang-barang peninggalan leluhur yang dapat
mengingatkan rakyatku pada perjuangan sampai kita dapat mendirikan kerajaan
ini. Benda-benda itu akan mengingatkan kepada kita batapa gigih perjuangan para
leluhur kita. Perjuangan yang tidak kenal menyerah meskipun dengan senjata
seadanya. Tekad yang kuat dan ikhlas itulah senjata yang paling ampuh.”
“Ampun, Paduka
Raja. Jadi berita yang kami dengar itu tidak benar?”
“Ya, kalian selama
ini salah paham. Memang, si Kakek tua keriput itu sebentar lagi akan aku
lenyapkan.”
Betapa terkejutnya
para Tikus itu mendengar apa yang baru
saja dikatakan sang Raja. Baru saja mereka mendengar sang Raja akan memberi hadiah
kepada Kakek, sekarang sang Raja berkata akan melenyapkan Kakek.
Sang Raja
sepertinya tahu apa yang ada di pikiran para Tikus. Kemudian katanya, “Kalian
jangan salah paham. Maksudku begini…” sang Raja berhenti sejenak, lalu
lanjutnya, “Karena Kakek akan menyimpan benda-benda yang sangat bersejarah bagi
kerajaan ini. Tentu saja banyak rakyatku
yang nanti akan mengunjungi Kakek. Mereka ingin melihat benda-benda itu dari
dekat. Nah, karena akan dikunjungi banyak orang, maka aku akan memberi Kakek
pakaian yang pantas untuk menyambut tamu-tamunya. Dengan pakaian yang baik itu
Kakek akan kelihatan lebih muda, lebih gagah dan lebih berwibawa. Apakah kalian
mengerti sekarang?”
“Ya, Paduka.
Sekarang kami mengerti maksud Paduka Raja.”
Setelah para Tikus
selesai menyampaikan maksud mereka dan telah mendapatkan jawaban dari sang
Raja, lalu mereka mohon pamit.
“Ampun, Paduka
Raja. Kami telah mengganggu istirahat Paduka. Perkenankanlah kami mohon izin
kembali ke tempat kami. Kami akan segera menemui Kakek dan menyampaikan berita
ini.”
“Baik, sampaikan
berita yang kalian dengar ini kepada Kakek agar dia tidak bersedih lagi. Dan
sampaikan maafku telah membuat Kakek gelisah.
“Baik, Paduka
Raja.”
====
Ternyata
para Kutilang masih setia menunggu. Sekarang para Tikus itu sangat menikmati
perjalanan pulang mereka, karena mereka sudah tidak membawa beban pikiran lagi.
Mereka tersenyum membayangkan wajah Kakek yang tampak muda dan gagah.
===TAMAT===
HADIAH BUAT SI MALAS
By M. Tadir
Di sebuah desa yang terpencil tinggal sepasang suami istri. Namanya Pak Haryo dan Bu Haryo. Mereka memiliki dua orang anak perempuan. Anak pertama bernama Lesi dan yang kedua bernama Preti. Mereka tinggal di rumah yang sangat sederhana. Setiap hari kedua suami istri itu pergi ke sawah untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Mereka sangat sayang kepada anak-anaknya.
Kedua
anak mereka, meskipun keluar dari rahim ibu yang sama sangat berbeda sifat dan
wataknya. Lesi yang merasakan kedua orang tuanya sangat mengasihinya
menjadikannya gadis yang malas. Sebaliknya, Preti merasa bahwa ia harus
membalas kasih sayang kedua orang tuanya itu dengan rajin membantu mereka.
Apapun yang dapat ia kerjakan selalu dikerjakannya dengan baik dan senang hati.
Mencuci pakaian, membersihkan perabot dapur yang kotor, menyapu halaman dan
lain sebagainya.
Di
dekat rumah sederhana itu terdapat sungai yang jernih airnya. Tapi sayang, air
di sungai itu tidak selamanya melimpah. Di musim kemarau hanya ada sedikit air
di sungai itu. Setiap hari Preti pergi ke sungai itu untuk mencuci pakaian dan
mandi. Tidak hanya pakaiannya sendiri tetapi juga pakaian kakaknya, Lesi. Lesi
yang pemalas itu tidak mau mencuci pakaiannya sendiri. Apabila Preti lupa tidak
mencucikan pakaian Lesi, kakaknya itu tidak segan-segan memarahi dan menyakiti
adiknya.
Suatu
hari ketika Preti sedang asyik mencuci pakaian tiba-tiba ia mendengar suara
minta tolong. “Tolong!…Tolong!” Suara itu terdengar memelas sekali. Preti
menengok ke kanan dan ke kiri mencari suara itu. “Tolong!…Tolong aku!. Aku
tidak bisa berjalan.” Preti berusaha menemukan sumber suara itu. Ketika ia
sampai di dekat batu yang agak besar, ia melihat sesuatu. Benda itu tergeletak
tak berdaya. Setelah lebih dekat tahulah ia bahwa yang tergeletak tak berdaya
itu ternyata seekor kepiting.
“Tolong
aku!... Kakiku sakit sekali,” terdengar suara itu sangat memelas.
“Kenapa
kau?” tanya Preti sambil mendekati kepiting itu.
“Aku
tidak bisa berjalan. Kakiku sakit sekali. Tadi aku terjatuh dari pematang itu,”
jawab kepiting itu sambil menangis. Preti berjongkok untuk memeriksa kaki
kepiting itu.
“Kakimu
bengkak. Coba kuperiksa sebentar.” Preti memeriksa kaki kepiting yang bengkak
itu.
“Aduh!
Sakit sekali. Jangan terlalu kuat memegang kakiku,” kata kepiting itu sambil
meringis kesakitan.
“Tunggu
sebentar. Akan kucarikan obat,” kata Preti sambil meninggalkan kepiting itu.
Preti segera mencari daun-daunan yang bisa mengobati luka si kepiting. Setelah
menemukan daun-daunan yang dibutuhkan, Preti segera menumbuk daunan-daunan itu
sampai halus. Setelah dirasa cukup lalu ia mengoleskan ramuan itu pada luka si
kepiting.
Setelah
beberapa saat, bengkak di kaki si kepiting semakin membaik. “Terima kasih, ya.
Kamu baik sekali. Kakiku sudah tidak terlalu sakit lagi.” Si keptiting berterima kasih sekali kepada
Preti yang sudah mau menolongnya.
“Sudahlah,
kita kan harus tolong-menolong,” jawab Preti. “Tapi jangan banyak bergerak
dulu, nanti kakimu sakit lagi.” Preti menyuruh kepiting itu agar tidak banyak
bergerak supaya rasa sakitnya cepat hilang.
“Aku
cuma mau duduk,” jawab si kepiting.
“Mari,
aku bantu,” kata Preti sambil membantu kepiting itu duduk.
“Terima
kasih,” jawab si kepiting.
“Namaku
Krabi,” kata si kepiting setelah dapat duduk dengan baik.
“Namaku
Preti,” kata Preti sambil tersenyum.
“Nama
yang bagus, seperti orangnya cantik dan baik hati,” kata si kepiting memuji.
“Ah,
namamu juga bagus kok,” jawab Preti.
“Oh,
ya kenapa kamu tadi bisa terjatuh?” tanya Preti.
“Aku
tadi sedang berjalan di pematang itu, ternyata tanah yang kuinjak masih basah.
Aku terpeleset dan jatuh,” kata si kepiting sambil menunjuk pematang yang ada
di atasnya.
“Lain
kali kamu harus hati-hati. Kalau sedang berjalan kamu harus melihat apa yang
ada di hadapanmu,” kata Preti menasihati kepiting itu.
“Ya,
terima kasih. Lain kali aku akan berhati-hati,” kata kepiting itu.
“Agaknya
lukaku sudah tidak terasa lagi. Mungkin aku sudah bisa berjalan lagi sekarang,
“ kata si kepiting sambil berusaha berdiri. Kepiting itu menggerak-gerakkan
kakinya dan mencoba berjalan pelan-pelan.
“Hore!
Aku sudah bisa berjalan lagi!” Kepiting itu bersorak gembira karena kakinya sudah
tidak sakit lagi.
“Preti,
ayo singgah ke rumahku sebentar, nanti kuperkenalkan dengan keluargaku,” kata
si kepiting.
“Terima
kasih, tapi hari sudah siang, aku harus segera pulang,” kata Preti dengan
cemas. Wajahnya tampak gelisah.
“Kenapa
kamu kelihatan gelisah?” tanya si kepiting keheranan.
“Aku
harus segera sampai di rumah. Kalau tidak nanti kakakku akan marah,” kata Preti
semakin cemas.
“Oh,
begitu ya. Kasihan kamu Preti,” kata si kepiting itu.
“Sudah
ya, aku pulang dulu,” kata Preti sambil menjinjing ember tempat pakaian yang
baru saja dicuci.
“Terima
kasih sekali lagi, Preti,” kata si kepiting.
“Sama-sama,
Krabi,” kata Preti singkat sambil melangkah pergi.
Krabi,
si kepiting itu masih berdiri di tempatnya. Ia terus menatap Preti sampai di
kelokan jalan setapak. “Kasihan Preti, gadis sebaik itu mengalami nasib yang
malang,” kata Krabi dalam hati. Ketika ia sudah tidak melihat Preti lagi, ia
mulai melangkah pulang.
===
Sesampainya
di rumah, Preti disambut teriakan kakaknya. ”Mengapa sesiang ini kamu baru
kembali?” Lesi menghardik Preti dengan wajah merah.
“Tadi
ada yang butuh bantuanku, Kak, jadi aku menolong dia dulu,” kata Preti sambil
menunduk. Lesi tidak percaya begitu saja. Ia masih berteriak-teriak kepada
Preti.
“Bohong!”
teriak Lesi kepada Preti.
“Benar,
Kak. Preti tidak bohong,” kata Preti sambil mengusap air matanya. Kalau
kakaknya marah, Preti hanya bisa menangis tertahan-tahan.
“Cepat,
siapkan makanan untukku!” teriak kakaknya lagi.
“Iya,
Kak,” kata Preti sambil tersedu-sedu. Segera ia pergi ke dapur untuk menyiapkan
makanan buat kakaknya.
Sementara
itu Pak Haryo dan Bu Haryo baru saja sampai di rumah. Mereka tampak kelelahan
setelah seharian berada di sawah.
“Panas
sekali ya Bu hari ini,” kata Pak Haryo sambil mengipasi mukanya dengan caping.
“Benar,
Pak. Mungkin sebentar lagi musim kemarau tiba,” kata Bu Haryo sambil duduk di
atas lincak depan rumah.
“Tolong
ambilkan kendi itu, Bu!. Aku haus sekali.”
“Ya,
Pak, sebentar kuambilkan,” Bu Haryo bangkit dari duduknya dan mengabil kendi
yang terletak di dekat jendela.
“Ini,
Pak, kendinya,” kata Bu Haryo sambil memberikan kendi itu.
Pak
Haryo meneguk air dari kendi itu sepuasnya. “Segar sekali rasanya minum air
kendi panas-panas begini,” kata Pak Haryo sambil memberikan kendi itu kapada Bu
Haryo. “Minumlah, Bu, badanmu biar segar kembali.”
“Ya.
Pak,” jawab Bu Haryo sambil menerima kendi itu.
“Anak-anak
ke mana ya Bu, kok sepi?”
“Mungkin
lagi bermain, Pak.”
“Lesi!
Preti!” panggil Pak Haryo.
Lesi
yang sedang bermalas-malasan di kamarnya mendengar panggilan itu, sedangkan
Preti yang sedang menanak nasi di dapur tidak mendengar panggilan ayahnya. Lesi
segera keluar dari kamarnya.
“Oh, ternyata Bapak
dan Ibu sudah pulang,” kata Lesi sambil tersenyum yang dibuat-buat.
“Di
mana adikmu?” tanya Pak Haryo.
“Lesi
tidak tahu, Pak. Mungkin si pemalas itu sedang bermain-main,” jawab Lesi dengan
ketus.
“Lesi,
kamu tidak boleh berkata begitu. Adikmu kan masih kecil,” kata Bu Haryo dengan
sabar.
“Ah,
Ibu selalu membela Preti,” kata Lesi jengkel.
“Ibumu
benar, Lesi. Adikmu masih kecil belum waktunya bekerja yang berat-berat,” kata
Pak Haryo.
“Bapak
juga begitu, selalu membela Preti. Lihat, siapa yang mengerjakan semua
pekerjaan di rumah waktu Bapak dan Ibu pergi ke sawah. Dasar pemalas!” Lesi berkata
dengan kesal kemudian segera berlari ke dalam rumah. Pak Haryo dan Bu Haryo
hanya bisa mengelus dada melihat sikap anaknya yang manja itu.
Sebenarnya
Pak Haryo dan Bu Haryo sudah mengetahui tingkah laku anaknya yang pertama
terhadap adiknya, namun demikian masih dibiarkan saja. Mereka mohon kepada
Tuhan suatu saat Tuhan berkenan membuka hati anaknya yang yang satu itu. Hanya
saja mereka sering dengan diam-diam pergi ke kamar Preti untuk menghibur
hatinya setelah dimarahi oleh Lesi.
Sebenarnya kedua
orang tua itu tidak tega melihat Preti sering dimarahi kakaknya. Namun ketika
diperingatkan oleh orang tuanya sering kali Lesi ngambek dan yang menjadi sasaranya nanti adalah adiknya, Preti.
Seperti
biasanya pagi-pagi sekali Preti sudah pergi ke sungai untuk mandi dan mencuci
pakaian. Udara terasa sejuk dan segar. Sisa-sisa embun tadi malam masih
bergayutan di dedaunan. Burung-burung berkicau riang seakan-akan ingin
menghibur hati Preti yang sering dirundung sedih.
Namun
demikian semua itu tidak bisa menghilangkan kesedihan yang dirasakan Preti.
Tadi malam kakaknya berkata sambil membentaknya.
”Preti!” Carikan
aku seekor kepiting yang besar! Kau masak kepiting itu untukku! Hari ini aku
ingin lauk kepiting rebus!”
Pesan kakaknya itu
masih terngiang-ngiang di telinganya. Bagaimana kalau ia tidak bisa mendapatkan
kepiting? Hal itulah yang membuatnya murung.
Setelah
selesai mencuci pakaian ia lalu mencari kepiting seperti yang diinginkan
kakaknya. Namun sudah sekian lama ia mencari tak satupun kepiting didapatnya.
Tiba-tiba ia mendengar suara menyapanya dari arah belakangnya.
”Preti, lagi ngapain kamu?” Preti terkejut mendengar
suara itu. Suara yang sudah dikenalnya. Suara Krabi.
“Oh,
tidak apa-apa, Krabi,” jawab Preti agak tergagap.
“Aku
lihat kamu sedang mencari sesuatu. Apakah cucianmu ada yang hilang atau hanyut
terbawa arus sungai?” tanya Krabi kepada Preti.
“Ti…Tidak!
Cucianku tidak ada yang hilang,” jawab Preti terbata-bata.
“Lalu
kenapa kamu kelihatan murung?” tanya Krabi lagi.
“Tidak…tidak…tidak
apa-apa kok,” jawab Preti masih
terbata-bata.
“Baiklah
kalau begitu. Mari kita bermain air. Pasti rasanya segar sekali bermain-main di
air sungai yang jernih ini,” ajak Krabi.
“Nggak ah, aku baru malas bermain,” kata
Preti sambil memandangi air sungai yang jernih itu.
Sebenarnya,
Preti ingin berterus terang pada sahabatnya, tetapi ia tidak tega pada
sahabatnya ini.
“Apakah Krabi tidak
tersinggung kalau aku berterus terang?” tanyanya pada diri sendiri. Preti masih
belum berani berterus terang pada sahabatnya itu. Oleh karenanya ia hanya
terdiam saja.
“Tuh,
kamu melamun lagi. Ada apa sebenarnya, Preti? Coba kau ceritakan padaku.
Kalau aku mampu pasti akan kubantu,” desak Krabi.
Preti
masih ragu-ragu untuk menceritakan masalahnya. Ia khawatir Krabi akan marah
kepadanya jika ia ceritakan yang sebenarnya. Ia takut bahwa temannya itu akan
mengatakan ia tak tahu diri karena ia mau mengorbankan teman-teman Krabi demi
memenuhi permintaan kakaknya.
Melihat
Preti masih diam saja, Krabi berusaha mendesak sekali lagi. “Ayolah Preti,
ceritakanlah padaku!”
“Kamu
mau berjanji tidak akan marah padaku kalau kuceritakan?” tanya Preti
memastikan.
“Aku
berjanji. Aku tidak akan marah kepadamu, apalagi kamu sudah menyelamatkan jiwaku,”
jawab Krabi mantap.
Melihat
kesungguhan sahabatnya itu, timbullah keberanian Preti untuk menceritakan yang
sebenarnya.
“Aku disuruh
kakakku mencari kepiting untuk dijadikan lauk,” kata Preti agak ragu-ragu.
“Ha…ha…ha!”
Krabi tertawa mendengar ucapan Preti yang ragu-ragu itu.
“Jadi itu
masalahnya?” kata Krabi sambil masih tertawa.
Preti heran melihat
tingkah sahabatnya ini. Krabi tidak merasa tersinggung, malah sebaliknya ia
tertawa terpingkal-pingkal.
“Mengapa
kamu tertawa?” tanya Preti penuh keheranan.
“Maaf…maaf,
Preti, aku tidak menertawakan kau,” kata Krabi sambil masih menahan tawa.
“Aku tertawa karena
membayangkan apa yang akan terjadi nanti,” lanjutnya.
“Ketahuilah
sahabatku bahwa aku sudah mengetahui semuanya,” kata Krabi.
“Bagaimana
kau bisa tahu? Kita kan hanya bertemu di sungai ini?” tanya Preti penuh
keheranan.
“Sebenarnya,
semenjak kau selamatkan aku, aku telah berjanji pada diriku sendiri bahwa suatu
saat jika kamu membutuhkan pertolonganku aku harus mau membantumu meskipun itu
membahayakan jiwaku,” kata Krabi sungguh-sungguh. “Bukan hanya karena balas
budi, tetapi karena kamu anak yang baik. Tanpa sepengetahuanmu, aku sering
memperhatikan kau ketika kamu sedang berada di sungai ini. Sebenarnya sudah
lama aku ingin berkenalan denganmu tetapi aku masih ragu apakah kau mau menjadi
temanku. Suatu hari aku sedang memperhatikanmu sedang mencuci di sungai ini.
Karena terlalu asyik memperhatikanmu, aku kurang hati-hati melihat jalan di
depanku dan terjadilah peristiwa itu, aku terjatuh dari pematang itu. Semenjak
itulah aku berjanji pada diriku sendiri akan menjadi sahabat sejatimu, sahabat
di kala suka dan duka.”
Preti sangat
terharu mendengarkan kata-kata sahabatnya itu. Namun demikian, ia masih
bertanya-tanya dari mana Krabi tahu permasalahannya. Oleh karena itu, segera ia
bertanya padanya.
”Krabi, dari mana
kau tahu permasalahan yang kuhadapi?”
Sebelum menjawab
Krabi menghela nafas panjang. Tampaknya ia ragu-ragu akan mengatakan sesuatu.
Setelah terdiam beberapa saat, ia lalu berterus terang pada Preti.
”Preti, sebelumnya
aku minta maaf jika ceritaku nanti tidak berkenan di hatimu.” Lalu
lanjutnya,”Tanpa kau sadari aku sering pergi ke rumahmu diam-diam.”
“Kamu sering ke
rumahku? Mengapa aku tidak pernah tahu?” tanya Preti penasaran.
“Begini Preti,”
kata Krabi diam sejenak,”Ketika kamu sedang mencuci aku bersembunyi di balik semak-semak
itu. Pada saat kau mandi aku diam-diam mendekati tempat cucuianmu itu, lalu aku
masuk dan bersembunyi di bawah pakaian yang sudah kamu cuci itu. Pada saat
sampai ke rumahmu aku keluar dari ember itu dan bersembunyi di sekitar
rumahmu.”
“Oh, begitu ya,”
sahut Preti.
“Ya, begitulah
caraku supaya selalu dekat denganmu. Oleh karena itu, aku juga tahu kalau kamu
sering dimarahi oleh kakakmu. Kebetulan pada saat kakakmu menyuruh kamu mencari
kepiting, aku berada di rumahmu dan aku mendengar semua yang ia katakan. Jujur
saja pada saat itu aku sangat marah kepada kakakmu tetapi kemudian aku mendapat
ide bagus untuk menghukum kakakmu yang malas dan pemarah itu.”
“Lalu apa idemu?”
tanya Preti penasaran.
“Nah, itulah
sebabnya kamu tadi tidak dapat menemukan satu kepitingpun di sungai ini,” kata
Krabi sambil senyum-senyum. “Tadi malam aku sudah memperingatkan semua kepiting
di sungai ini untuk tidak pergi ke sungai,” lanjut Krabi.
“Ah, kamu jahat,
Krabi,” kata Preti sambil mencubit sahabatnya itu.
“Aduh, jangan
Preti, sakit,” kata Krabi sambil tertawa. “Kalau kamu masih mencubit aku, aku
tidak mau meneruskan ceritaku,” kata Krabi sambil berlari-lari kecil berusaha
menghindari cubitan Preti.
“Baik…baik,
teruskan ceritamu. Aku tidak akan mencubit lagi,” kata Preti sambil
menghentikan kejarannya pada Krabi. Kemudian mereka berdua duduk bersandar pada
batu di dekat sungai itu.
Setelah beberapa
saat Krabi mulai berbicara.
”Nanti aku yang
akan menjadi lauk kakakmu.”
“Hah...apa?!” Preti
terkejut sekali mendengar ucapan sahabatnya itu.
“Kamu yang akan
menjadi lauk kakakku?” Setengah tak percaya Preti bertanya pada Krabi.
“Tidak! Aku tidak
mau kau korbankan dirimu. Lebih baik aku akan bilang pada kak Lesi kalau aku
tidak behasil mendapatkan kepiting. Lebih baik biar aku saja yang dimarahi
bahkan dipukuli kakakku daripada mengurbankan dirimu,” kata Preti sambil
mengusap air matanya.
Krabi sangat
tersentuh hatinya dan semakin kagum pada sifat sahabatnya itu. Cepat-cepat ia
berkata kepadanya.
”Dengarkan dulu,
Preti, aku belum selesai bercerita.”
Lalu Krabi
melanjutkan kata-katanya.
”Sekarang coba
dengarkan rencanaku. Sesampai di rumah nanti, tunjukkan aku pada kakakmu biar
ia percaya bahwa kau mendapatkan kepiting. Lalu bawalah aku ke dapur dan
pura-puralah kamu memasak aku. Setelah itu letakkan aku di tempat lauk yang
biasa kau gunakan. Biar kakakmu tidak curiga, barulilah tubuhku dengan bumbu.
Kemudian cepat-cepatlah kau hidangkan pada kakakmu. Selanjutnya…,” Krabi
membisikkan sesuatu ke telinga Preti. Kemudian mereka berdua tertawa
membayangkan apa yang akan terjadi nanti.
“Tapi, Krabi, kamu
harus berjanji tidak terlalu menyakiti kak Lesi.”
“Ya, aku berjanji,”
jawab Krabi.
===
“Mana
kepitingnya?!” bentak Lesi sesampainya Preti di rumah.
“Ini,
Kak,” jawab Preti sambil menunjukkan kepiting yang dibawanya.
“Bagus!
Kepiting yang besar dan gemuk. Pasti enak sekali. Cepat masak untukku!” bentak
Lesi lagi. Preti hanya tertunduk dan menjawab pelan.
“Baik,
Kak.” Preti lalu meninggalkan kakaknya dan pergi ke dapur.
“Ingat,
rencana kita jangan sampai gagal,” bisik Krabi pada Preti. Preti mengangguk
kecil.
Preti
membuat bumbu yang akan dibalurkan ke tubuh Krabi. Setelah selesai lalu ia
balurkan ke tubuh Krabi dengan hati-hati.
“Hati-hati, jangan sampai
terkena mataku nanti bisa kacau. Kalau aku tidak bisa melihat jangan-jangan
nanti aku keliru manjapit hidung kakakmu,” bisik Krabi sambil tersenyum.
“Iya, aku akan
hati-hati,” bisik Preti.
Setelah dirasa
cukup, lalu Preti menghidangkan kepiting itu. Tidak pikir panjang Lesi langsung
mengambil dan hendak memakan kepiting itu. Ketika ia membuka mulutnya hendak
menggigit kepiting itu, terasa sesuatu menggigit bibirnya. Lesi tersentak kaget.
Terasa sesuatu menggigit bibirnya. Spontan tangannya bergerak dan terlepaslah
Krabi dari tangannya. Dengan hati-hati Krabi merayap pelan-pelan dan
bersembunyi di bawah meja.
“Aduh,
bibirku sakit sekali!” Lesi memegangi bibirnya sambil menangis.
“Kenapa
Kak?” tanya Preti sambil berlari mendekati kakaknya.
“Bibirku
terkena sapit kepiting itu,” kata Lesi sambil memegangi bibirnya yang sakit.
“Kakak
sih nggak hati-hati. Kan sapit kepiting itu tajam. Coba
kulihat sebentar Kak,” kata Preti sambil mengamati luka itu.
“Cuma
berdarah sedikit kok, Kak. Sebentar
kuambilkan obat luka,” kata Preti sambil berlari mencari obat luka di kamar
ayahnya. Ayahnya selalu menyimpan obat luka untuk berjaga-jaga seandainya ada anggota
keluarganya yang terluka.
“Ini
Kak obatnya. Biar aku saja yang mengoleskannya pada luka itu.”
Preti
mengambil kapas dan membasahinya dengan beberapa tetes obat luka. Pelan-pelan
ia mengoleskan obat itu pada luka kakaknya. Lesi meringis menahan pedih ketika
obat itu dioleskan.
Diam-diam
Lesi memperhatikan tingkah laku adiknya. Ternyata adiknya baik sekali
terhadapnya. Tidak ada rasa dendam di hatinya meskipun ia sering memarahi
adiknya itu. Ia malah membantunya pada saat ia kesakitan terkena sapit kepiting
itu. Timbullah rasa penyesalan di hati Lesi. Tak terasa air matanya menetes
karena mengenang perbuatannya selama ini pada adiknya.
Preti melihat air
mata kakaknya mengalir. Dikiranya kakaknya itu menangis karena menahan sakit.
“Sudahlah
Kak. Tidak usah menangis. Lukanya sudah tidak berdarah lagi. Sebentar lagi
pasti sembuh,” kata Preti dengan lugu. Ia ingin menghibur kakaknya agar
berhenti menangis.
Mendengar kata-kata
adiknya itu, air mata Lesi semakin deras mengalir.
“Sungguh mulia hati
Preti,” kata Lesi dalam hati. “Mulai saat ini aku tidak akan menyakitinya lagi
dan aku berjanji akan menjadi anak yang baik seperti dia.” Begitulah kata hati
Lesi.
“Sudah tidak terasa
sakit lagi kan Kak?” tanya Preti.
“Ya…ya…lukaku
sudah tidak sakit lagi,” kata Lesi sambil menahan tangisnya. Tangisan
penyesalan akibat perbuatannya pada adiknya.
Tidak kuasa menahan
perasaannya, tiba-tiba ia memeluk adiknya. “Maafkan
Kakak, Preti. Selama ini Kakak berbuat jahat padamu,” kata Lesi sambil menangis
memeluk adiknya.
Preti
pun tidak kuasa menahan air matanya. Ia bersyukur kepada Tuhan karena telah
sudi membuka hati kakaknya. Ia juga berterima kasih pada sahabat setianya,
Krabi.
=== TAMAT
===
PUTRI DUYUNG BERSISIK MUTIARA
By M. Tadir
Burung
camar terbang kian kemari, berputar-putar di permukaan air laut yang jernih.
Ikan-ikan pun berenang dengan gembira. Sesekali mereka melompat dan terjun
kembali ke air. Burung-burung dan ikan-ikan itu berputar-putar mengitari Putri
Duyung yang sedang bernyanyi sambil duduk di sebuah batu karang di tengah laut.
Setiap hari mereka menyambut pagi dengan riang gembira.
Selain
memiliki suara merdu, Putri Duyung itu memiliki wajah yang sangat cantik.
Ekornya yang gemerlap diterpa cahaya pagi menambah kecantikannya. Di lautan itu
ia terkenal dengan sebutan Putri Duyung Bersisik Mutiara. Sisiknya yang tertimpa
sinar matahari berkerlap-kerlip bagaikan mutiara yang sangat indah. Lagi pula,
Putri Duyung itu memiliki sifat yang sangat baik. Dia suka menolong siapa saja
yang baru terkena musibah.
Sifatnya yang tidak
membeda-bedakan kawan itu membuatnya memiliki banyak teman. Hampir semua yang
tinggal di lautan itu, baik yang tinggal di air maupun yang tinggal di daratan
sangat menyayanginya.
“Selamat
pagi, Putri,” sapa Krapu kepada Putri Duyung.
“Selamat
pagi, Krapu,” jawab Putri Duyung.
“Pagi
ini sangat cerah. Ayo kita bermain,” ajak Krapu.
“Ayo
kita panggil teman-teman kita bermain bersama-sama,” jawab Putri Duyung dengan
gembira.
Mereka
kemudian berenang memanggil teman-teman mereka.
Setelah semua berkumpul, Putri Duyung
mengajak teman-temannya bermain di sebuah taman laut yang sangat indah. Di
taman itu mereka bermain dengan riang gembira.
===
Sementara itu, di
atas mereka sebuah kapal yang sangat besar sedang berhenti. Tiba-tiba dari
kapal itu terdengar bunyi gemuruh. Ternyata dari kapal itu meluncur benda-benda
besar berbentuk tabung meluncur menuju ke taman di mana Putri Duyung dan
teman-temannya sedang bermain.
“Apa
itu Putri yang bergerak menuju ke arah kita?” tanya Kuda Laut kepada Putri Duyung.
“Entahlah aku juga tidak tahu,” jawab Putri
Duyung sambil memandangi benda yang sedang meluncur kea rah mereka itu. Benda
itu semakin lama semakin dekat dengan mereka yang berada di taman itu.
Sekejap
kemudian “Bum” benda itu dengan kerasnya membentur sebuah batu karang yang
berada di taman itu. Mereka yang berada di taman itu terkejut. Sebentar kemudian,
cairan yang kehitam-hitaman mengalir dari dalam benda itu. Rupanya benturan itu
menyebabkan benda itu berlubang, dan dari lubang itulah keluar cairan yang
kehitam-hitaman tersebut. Semakin lama cairan yang keluar semakin banyak.
Air
laut yang jernih kini menjadi coklat kehitam-hitaman. Mereka yang berada di
taman itu tidak menyadari bencana yang akan menimpa mereka, sampai akhirnya
mereka merasakan sesuatu yang kurang wajar.
“Aduh,
mataku pedih sekali!” teriak Krapu sambil mengucek-ngucek matanya.
“Kulitku
gatal sekali,” kata Moa si belut laut sambil menggaruk-garuk badannya.
“Kepalaku
pening sekali dan aku sulit bernapas,” kata Putri Duyung dengan suara lemah.
Sesaat kemudian Putri Duyung terhuyung-huyung dan akhirnya tak sadarkan diri.
Melihat Putri Duyung yang sangat mereka sayangi itu jatuh tak sadarkan diri,
mereka menjadi panik. Mereka ingin membantunya namun apa daya tubuh mereka
sendiri sangat lemah akibat terlalu banyak menghirup air yang kotor itu. Mereka
hanya bisa berteriak minta tolong.
”Tolong! Tolong
kami!” teriak Krapu dan Moa dengan suara yang sudah sangat lemah.
Tiba-tiba
dari kejauhan tampak beberapa benda yang bergerak cepat sekali. Mereka langsung
menyambar dan membawa pergi mereka yang dalam bahaya itu. Ternyata yang
menolong mereka adalah beberapa Lumba-Lumba.
Secepat kilat para
Lumba-Lumba itu bergerak menjauhi taman yang sudah tercemar itu. Setelah dirasa
aman Lumba-Lumba itu berhenti. Mereka memilih tempat yang rimbun yang banyak
ditumbuhi tanaman laut. Di situ air terasa segar karena banyak mengandung
oksigen.
Setelah meletakkan
teman-teman mereka yang lemas dan pingsan itu, mereka bersuit-suit memanggil
teman-teman mereka. Sebentar kemudian beberapa Lumba-Lumba lain berdatangan.
“Apa
yang terjadi?” tanya lumba-lumba yang baru datang.
“Teman-teman
kita keracunan. Ada yang membuang limbah di daerah kita,” jawab lumba-lumba
yang membawa Putri Duyung.
“Bukankah
itu si Putri?” tanya lumba-lumba yang baru datang itu.
“Ya,
ini Putri Duyung,” jawab lumba-lumba yang menolong Putri Duyung.
“Oh,
kasihan si Putri. Wajahnya pucat kebiru-biruan. Dan sisiknya yang biasanya
sangat indah itu sekarang menjadi biru pucat,” kata lumba-lumba yang gemuk
dengan sedih.
“Itu
tandanya Putri keracunan. Ia terlalu banyak menghirup air yang sudah tercemar
itu,” kata lumba-lumba yang agak kurus.
“Apakah
masih ada teman-teman kita yang berada di sana?” tanya Sharko si hiu besar yang
baru saja tiba di tempat itu. Ia marah sekali melihat Putri Duyung tergeletak
tak berdaya.
“Mungkin
masih ada beberapa yang tidak sempat menyelamatkan diri,” jawab Krapu yang
sudah agak membaik.
“Baik,
aku akan ke sana dan mencari teman-teman kita yang mungkin masih bisa ditolong.
Setelah itu akan kuhancurkan kapal itu dan akan kutenggelamkan semua yang ada
di atasnya,” kata Sharko dengan geram.
“Sabarlah
Sharko,” kata Putri Duyung lemah sekali. Semua yang berada di situ terkejut
bercampur gembira melihat Putri Duyung sudah sadar kembali.
“Oh,
Putri sudah sadar,” kata lumba-lumba yang menolong Putri Duyung.
“Ya,
sebenarnya aku sudah sadar dari tadi tetapi badanku terasa lemas sekali,” kata
Putri Duyung dengan lemah.
“Putri
jangan banyak bergerak dulu,” kata lumba-lumba itu.
“Tidak
apa-apa. Badanku sudah agak baik. Aku sudah tidak pening lagi dan napasku juga
sudah tidak sesak lagi,” kata Putri Duyung pelan. Lalu Putri duyung berpaling
pada Sharko.
“Sharko, tidak baik
berbuat sesuatu dengan terburu-buru. Kita harus mempertimbangkan masak-masak
dahulu sebelum kita bertindak.”
“Tapi
Putri, mereka telah merusak tempat kita dan mencelakai teman-teman kita, bahkan
Putri sendiri hampir celaka dibuatnya,” kata Sharko masih bernada marah.
“Kau
benar Sharko, tapi sekali lagi kita harus bertindak dengan bijaksana. Tidak
baik melakukan sesuatu dilandasi dendam. Itu hanya akan membuat hati kita
tersiksa dan akhirnya akan menyengsarakan kita sendiri. Marilah kita terima
semua ini sebagai ujian dari Tuhan,” kata Putri Duyung dengan tenang dan sabar.
“Tapi
kita tidak boleh hanya pasrah saja, Putri. Kita juga harus berusaha,” sangggah
Sharko.
“Kamu
benar temanku, tetapi usaha kita
semestinya tidak bertentangan dengan nilai-nilai yang telah diajarkan Tuhan
kepada kita. Niat yang baik saja belum cukup. Niat yang baik harus dilakukan dengan cara yang baik pula,” kata
Putri Duyung dengan lembut.
“Baik
Putri, aku minta maaf. Aku telah terbawa oleh perasaanku sendiri,” kata Sharko
sambil menundukkan kepala.
“Lalu
apa rencana kita?” tanya Sharko kepada Putri Duyung.
“Sebaiknya
kita benahi taman itu lebih dahulu. Taman itu sangat penting bagi kita. Selain
untuk tempat bermain taman itu juga dapat membersihkan air di sekitarnya. Tumbuh-tumbuhan
yang ada di taman itu mengeluarkan oksigen yang bisa menyegarkan udara yang
kita hirup, sehingga badan kita menjadi sehat,” kata Putri Duyung kepada
teman-temannya. “Dan selanjutnya kita akan mencari cara yang baik agar
peristiwa tadi tidak terulang lagi,” lanjut Putri Duyung.
“Bagaimana
caranya, Putri?” tanya Krapu.
Putri Duyung yang
mendapat pertanyaan itu terdiam. Ia memang belum menemukan cara yang baik untuk
menghindari peristiwa yang sama terulang lagi.
“Bolehkah
aku usul?” tanya Kalu si kuda laut.
“Silakan,
pendapatmu akan sangat berarti bagi kami,” kata Putri Duyung kepada Kalu.
“Kita
minta bantuan kepada Paus. Teman kita itu kan
memiliki badan yang besar. Kita suruh dia menakut-nakuti setiap kapal yang akan
membuang limbah di laut,” kata Kalu.
“Tapi,
apakah itu tidak berbahaya? Ingat, kita tidak boleh menggunakan kekerasan,”
kata Moa.
“Sabar
dulu aku belum selesai,” kata Kalu. Lalu lanjutnya,”Tugas Paus hanya
menakut-nakuti, tidak membinasakan mereka. Misalnya, Paus bisa membuat
gelombang yang besar sehingga mereka yang ada di kapal akan merasa ketakutan.”
Semua
yang ada di situ terdiam mendengar pendapat Kalu itu.
“Bagaimana,
Putri?” tanya Kalu kepada Putri Duyung.
“Itu
pendapat yang bagus. Bagaimana dengan teman-teman yang lain?” tanya Putri
Duyung kepada semua yang ada di situ.
“Ya,
kami setuju,” teriak mereka bersama-sama.
===
Ternyata
rencana mereka berjalan dengan baik. Di hari-hari berikutnya tidak ada kapal
yang berani melewati laut itu. Kehidupan di laut itu kembali seperti dulu lagi.
Kehidupan yang diwarnai keceriaan penghuninya.
Taman
laut yang dulu hampir musnah, sekarang menjadi indah lagi. Berbagai tanaman laut
tumbuh di situ. Berbagai macam ikan setiap hari bermain-main dengan riang.
Putri
Duyung tersenyum bahagia. Tidak sia-sia kerja keras yang dilakukannya dan
teman-temannya. Kini laut itu menjadi indah kembali. Airnya kembali jernih dan
bening, sebening hati Putri Duyung Bersisik Mutiara.
=== TAMAT
===
NEGERI DI ATAS AWAN
By M. Tadir
Hari
ini hujan deras sekali, seperti dicurahkan dari langit. Lala dan beberapa teman
sekelasnya belum bisa pulang. Mereka harus menunggu hujan reda.
Setelah
beberapa saat menunggu akhirnya hujan pun reda. Memang belum sepenuhnya reda
karena masih ada titik-titik air yang jatuh dari langit. Namun demikian Lala
dan teman-temannya segera meninggalkan sekolah mereka.
“Yuk,
kita pulang sekarang! Mumpung hujan sudah agak reda,” ajak Lala kepada
teman-temannya.
“Ayo,
siapa tahu nanti hujan deras lagi,” kata teman-teman Lala setuju. Mereka pun
bergegas meninggalkan sekolah mereka. Mereka berlari-lari kecil menghindari
tetes-tetes air hujan yang masih terjatuh.
“Tidak
usah lari, kakiku baru sakit!” pinta Lala pada teman-temannya.
“Kenapa
kakimu?” tanya Pipin, salah satu teman Lala.
“Kemarin
waktu pulang sekolah kakiku terantuk batu,” kata Lala.
“Baiklah,
kita akan jalan pelan-pelan saja, seandainya nanti hujan turun lagi kita akan
berteduh dulu,” kata Pipin.
Mereka
berjalan pulang pelan-pelan. Mereka kasihan kapada Lala jika harus berjalan
cepat-cepat. Mereka ingin sampai di rumah bersamaan karena rumah mereka memang
berdekatan.
“Kita
lewat jalan pintas saja,” kata Lala kepada teman-temannya.
“Maksudmu
lewat perkebunan itu?” tanya Pipin.
“Ya,
meskipun jalan yang kita lewati agak sulit tapi kita akan segera sampai di
rumah.
“Bagaimana
dengan teman-teman yang lain?” tanya Pipin sambil melihat teman-temannya.
“Aku
setuju saja, lebih cepat ke rumah lebih baik, perutku sudah keroncongan nih,” kata Tasya, teman mereka yang
badannya paling bongsor.
Mereka
segera berjalan melewati perkebunan itu. Jalan di perkebunan itu memang tidak
sebaik jalan yang biasa mereka lalui. Beberapa kali mereka harus menyingkirkan
ranting-ranting bambu supaya bisa lewat. Kadang -kadang mereka juga harus
melewati gundukan-gundukan tanah.
Tak
lama kemudian mereka sudah sampai di kampung di mana mereka tinggal. Mereka berpisah
di simpang jalan untuk menuju rumah masing-masing. Lala masih berjalan bersama
Pipin karena rumah mereka bersebelahan. Tiba-tiba Lala berkata kepada Pipin
sambil menunjuk ke langit,”Lihat Pin ada pelangi!” Pipin segera melihat ke
langit dan dengan kagum ia bergumam,”Wow, indah sekali!”
Mereka berdua
menikmati pemandangan yang indah di langit. Sebuah pelangi tampak melengkung
setengah lingkaran. Warnanya sangat indah. Sungguh sedap dipandang mata. Mereka
belum pernah melihat pelangi sebelumnya. Kalaupun melihat, itu hanya gambar
pelangi yang mereka lihat di buku-buku bacaan yang pernah mereka baca.
“Indah
sekali! Baru kali ini aku melihat pelangi,” kata Lala terkagum-kagum.
“Pelangi itu
terbuat dari apa ya Pin?” tanya Lala pada Pipin.
“Bu
guru pernah bercerita kalau pelangi itu dari sinar matahari yang dibiaskan oleh
titik-titik air hujan. Makanya pelangi biasanya terjadi setelah hujan.
“Oh,
begitu ya. Tapi aku juga pernah mendengar cerita dari ibuku pelangi itu jalan para bidadari yang ingin mengunjungi
bumi. Jadi yang betul yang mana ya?” tanya Lala pada Pipin.
Pipin
yang mendapat pertanyaan itu terbengong-bengong. Ia pun pernah mendengar cerita
itu.
,”Ah, aku juga
bingung mana yang betul. Lebih baik nanti kita tanyakan pada ibu.”
“Ya
sudah kalau begitu, sampai jumpa besok,” kata Lala sambil memasuki rumahnya.
“Assalamualaikum,”
ucap Lala di depan pintu rumahnya.
“Waalaikum
salam,” terdengar jawaban dari dalam rumah.
“Oh,
kamu sudah pulang, Nak,” kata Bu Halimah sambil membuka pintu.
“Maaf,
Bu, Lala agak terlambat pulang. Tadi Lala dan teman-teman menunggu hujan reda,”
kata Lala sambil mencium tangan ibunya. Bu Halimah membelai rambut Lala. Terasa
rambut Lala basah oleh air hujan.
“Ya,
tidak apa-apa. Sekarang ganti bajumu dulu dan jangan lupa mengeringkan rambutmu
agar kepalamu tidak pusing.
“Baik,
Bu,” jawab Lala lalu segera pergi ke kamarnya. Lala pun segera berganti pakaian
yang biasa ia pakai di rumah, dan tak lupa ia mengeringkan rambutnya dengan
handuk.
Setelah
berganti pakaian Lala segera menuju ke ruang makan. Ternyata ibunya sedang
menyiapkan makanan di meja makan.
“Biar Lala saja Bu
yang menyiapkan makanan.”
“Sudahlah kamu
duduk saja. Kamu kan masih lelah setelah pulang dari sekolah. Lagi pula kamu
habis kehujanan.”
“Tapi
lauknya cuma tahu dan tempe. Ibu tidak bisa menyediakan yang lebih dari itu,”
kata Bu Halimah.
“Ah,
itu sudah lebih dari cukup, Bu. Kita harus selalu bersyukur bahwa kita masih
bisa makan tiga kali sehari. Banyak orang lain yang tidak seberuntung kita,” kata
Lala kepada ibunya.
Bu
Halimah sangat terharu mendengar jawaban anaknya. Tampak matanya berkaca-kaca.
Lala memang anak
yang baik. Ia rajin dan selalu patuh kepada orang tuanya. Ia pun sangat peduli
dengan orang lain.
Mereka
pun kemudian makan bersama-sama. Setelah selesai makan nanti Lala akan bertanya
kepada ibunya tentang pelangi. Ketika sedang makan Lala tidak mau
bercakap-cakap. Ia pernah diperingatkan ibunya tidak boleh bercakap-cakap saat
makan.
Sesaat kemudian mereka
sudah selasai makan siang. Lala pun lalu bertanya kepada ibunya.
”Bu, sebenarnya
pelangi itu apa?”
“Kenapa,
Ta, kok tiba-tiba kamu tanya pelangi?”
“Tadi
Lala lihat pelangi, Bu, indah sekali,” kata Lala berbinar-binar.
“Oh
ya? Kapan?”
“Tadi
Bu setelah hujan reda. Apa benar Bu kalau ada pelangi, ada bidadari yang turun
ke bumi?”
“Nenekmu
dulu juga pernah bercerita pada Ibu seperti itu,” kata Bu Halimah sambil
tersenyum.
“Jadi
benar ya Bu cerita itu?” tanya Lala penasaran.
Bu Halimah
menganggukan kepalanya.
“Alangkah senangnya
bisa bermain di atas pelangi,” gumam Lala pada dirinya sendiri. Bu Halimah
hanya tersenyum mendengar gumaman Lala itu. Bu halimah sengaja membiarkan Lala
berangan-angan.
“Ta, kemarikan
piring dan gelasmu! Biar Ibu cuci sekalian,” kata Bu Halimah sambil
membersihkan meja makan itu.
“Lala saja Bu yang
mencucinya. Ibu membersihkan meja saja.”
“Baiklah,” kata Bu
Halimah sambil menyerahkan piring dan gelas kotor itu.
Lala segera pergi
ke dapur dan mencuci piring lalu mencuci piring dan gelas itu. Setelah selesai
mencuci, kini waktunya Lala istirahat dan tidur siang. Lala sudah terbiasa
tidur siang meskipun hanya sebentar.
Lala merebahkan
dirinya di tempat tidur. Pikirannya masih terbayang-bayang keindahan pelangi
yang dilihatnya tadi. Beberapa saat kemudian Lala pun tertidur.
Belum begitu lama
Lala terlelap, tiba-tiba ia mendengar namanya dipanggil dengan lembut.
“Lala…Lala.” Lala
mencari sumber suara itu. Suara itu bukan suara ibunya. Setelah beberapa saat
ia menoleh ke kanan dan ke kiri, ia tidak
menemukan orang yang memanggilnya itu.
“Lala…Lala.” Suara
itu terdengar lagi memanggilnya.
“Aku di sisni,
Lala,” kata suara itu lagi.
Ketika Lala melihat
ke atas, ia melihat seorang anak perempuan yang sebaya dengannya. Anak itu tersenyum
melihat Lala. Ia mengenakan pakaian berwarna pelangi. Pakaian itu bercahaya
seperti pelangi.
“Kamu siapa?” tanya
Lala kepada gadis kecil itu.
“Namaku Pelangi,”
kata gadis kecil itu. Pakaiannya yang berwarna pelangi itu melambai-lambai
indah sekali.
“Maukah kau ikut
aku sebentar?” tanya gadis kecil itu.
“Ke mana?” tanya
Lala penasaran.
“Ke tempatku,”
jawab gadis kecil yang bernama Pelangi itu.
“Di mana rumahmu?,”
tanya Lala.
“Di atas awan,”
jawab Pelangi.
“Tapi aku tidak
bisa terbang sepertimu.”
“Jangan takut,
nanti kamu akan terbang bersamaku. Ulurkan tanganmu,” kata Pelangi sambil
melayang turun mendekati Lala. Lala mengulurkan tangannya dan Pelangi memegang
tangan itu.
“Mari kita menuju
negeri di atas awan,” kata Pelangi sambil terbang menembus atap rumah.
Mula-mula Lala tidak berani membuka matanya. Sedikit demi sedikit Lala kemudian
membuka matanya.
“Oh, alangkah indah
pemandangan dari atas sini,” kata Lala pada Pelangi.
“Ya, negerimu
memang indah, tapi sebentar lagi kau akan melihat tempat yang lebih indah dari
negerimu,” kata Pelangi.
Lala tidak sabar
untuk melihat negeri itu. “Adakah negeri yang lebih indah dari negeriku?”
tanyanya dalam hati.
“Di balik awan
itulah negeriku,” kata Pelangi sambil terbang menuju awan tersebut.
Tidak lama
kemudian, mereka sudah sampai ke sebuah negeri yang sangat indah. Semua yang
ada di tempat itu berwarna pelangi. Sungguh indah sekali!
“Inilah negeriku,”
kata Pelangi kepada Lala.
“Kita sudah sampai
ke negeri di atas awan,” kata pelangi sambil melepaskan pegangan tangannya.
“Wow, indah
sekali!” kata Lala dengan kagum. Di mana-mana Lala melihat warna-warna pelangi
yang sangat indah. Daun-daunan, bangunan bahkan langitnya berwarna pelangi.
Orang-orangnya pun memakai pakaian berwarna pelangi yang berkilauan indah
sekali.
Lalu pandangan Lala
tertuju pada sebuah taman yang sangat indah. Beberapa anak yang sebaya
dengannya sedang bermain dengan riang gembira. Ada yang menari, ada yang
berkejar-kejaran sambil terbang ke udara. Mereka tampak bahagia sekali.
Di taman itu juga
terdapat sebuah jalan. Jalan itu kelihatan melengkung ke bawah, namun ujungnya
tidak tampak jelas. Jalan itu seperti pelangi yang dilihat Lala dari bumi.
“Yuk, kita
bergabung dengan teman-teman kita!” ajak Pelangi. Lala tampak ragu-ragu.
“Apakah mereka
mengenalku?” tanya Lala pada Pelangi.
“Ya, mereka sudah
mengenalmu, seperti aku telah mengenalmu,” kata Pelangi.
“Bagaimana
mungkin?” tanya Lala tidak mengerti.
“Kami sering
melihat negeri kalian dari sini. Kami yang tinggal di negeri ini mengetahu
siapa saja anak yang baik dan selalu patuh kepada orang tuanya. Sesekali kami
mengajak mereka untuk mengunjumgi negeri kami ini.”
“Oh, begitu ya?”
kata Lala sambil mengangguk-menganggukkan kepalanya.
Kemudian Pelangi mengajak
Lala berjalan mendekati taman itu. Lala sangat tertarik pada sekumpulan anak
yang sedang bermain seperti permainan jamuran,
beberapa orang saling berpegangan tangan membentuk sebuah lingkaran dan satu
orang berada di tengah-tengah lingkaran tersebut. Pandangannya tertuju pada
seseorang yang berada di tengah lingkaran itu, dan tiba-tiba ia
berteriak,”Pipin! Pipin!”.
“Pelangi, Pipinkah
yang berada di tengah lingkaran itu?” tanya Lala penasaran. Pelangi hanya
tersenyum, sedangkan Pipin yang mendengar namanya dipanggil menoleh kepada
orang yang memanggilnya.
“Lala! Kau di sini
juga rupanya,” teriak Pipin dari kejauhan. Pipin kemudian menyibakkan lingkaran
itu dan berlari kepada Lala. Pipin dan Lala saling berpelukan. Alangkah
senangnya mereka bisa bersama-sama di negeri yang indah ini, negeri di atas
awan!.
===
TAMAT===
KISAH MAWAR DAN KAKTUS
By M. Tadir
Mentari pagi
bersinar cerah. Semua penghuni padang yang subur itu terbangun dari tidurnya,
kecuali Mawar yang masih terlelap tidur. Mawar memang terkenal pemalas. Ia
tidak suka bekerja keras. Kerjanya sehari-hari hanya bermalas-malasan. Tidak
seperti teman-temannya yang tinggal di padang itu, mereka sibuk mengumpulkan
bekal yang akan dipergunakan nanti pada saat musim kemarau tiba.
“Kenapa
aku harus bekerja? Begini saja aku sudah bisa makan dan minum semauku,” kata
Mawar pada dirinya sendiri.
Mawar
memang dianugerahi Tuhan rupa yang cantik. Selain itu ia juga memilki bau yang
harum, tapi sayang ia sering menyombongkan kelebihannya itu.
Sementara
itu di dekat Mawar tumbuh sebatang Kaktus. Kaktus sangat rajin bekerja. Setiap
hari ia mengumpulkan bahan makanan dan minuman. Meskipun tidak seindah Mawar,
Kaktus juga memiliki kelebihan dari yang lain. Ia bisa menyimpan air yang
banyak di dalam tubuhnya.
Mawar
sering kali mengejek Kaktus karena rupanya yang jelek itu. Kaktus sendiri tidak
pernah menanggapi ejekan itu. Ia selalu bersyukur atas apa dianugerahkan Tuhan kepadanya.
“Jangan
suka mengejek, Mawar. Setiap ciptaan Tuhan memiliki kelebihannya
masing-masing,” kata Kaktus pada Mawar suatu hari.
“Ah,
itu hanya omonganmu saja untuk menutupi kekuranganmu,” kata Mawar ketus. Kaktus
pun terdiam. Ia tidak suka berdebat yang ujung-ujungnya akan menjadi tidak
baik.
===
Sementara
itu di sebuah pohon yang rindang, seekor burung pipit dan seekor burung gelatik
sedang beristirahat. Mereka berteduh di kerimbunan pohon itu.
“Beberapa
hari ini udara sangat panas,” kata Pipit pada Gelatik.
“Ya,
dan juga sering terjadi angin kencang di sini,” kata Gelatik menambahkan.
“Mungkin
sebentar lagi musim kemarau akan datang,” kata Pipit sambil tiduran di sebuah
batang yang agak besar.
“Kukira
juga demikian dan mungkin juga akan terjadi kemarau panjang,” kata Gelatik
sambil bersandar di sebuah cabang pohon itu.
“Apakah
bekalmu sudah cukup jika terjadi kemarau panjang?” tanya Pipit pada Gelatik.
“Kukira
cukup, setiap hari aku bekerja keras mengumpulkan bekal ,” jawab Gelatik.
“Ya
kita semua di sini bekerja keras kecuali si Mawar. Dia sangat malas. Dia kira
makanan dan minuman itu akan datang dengan sendirinya. Dasar pemalas!” kata
Pipit geram.
“Lho kok malah kamu yang sewot. Biarkan
saja dia malas, kan yang akan
menerima akibatnya dia sendiri,” kata Gelatik.
“Aku
jengkel sekali padanya. Dia sering mengejek Kaktus. Kaktus terlalu baik, dia
tidak pernah marah pada siapapun. Kalau aku yang diejek, akan kupukul dia
sampai menangis,” kata Pipit sambil mengepalkan tangannya.
“Nah,
kamu mulai lagi. Kenapa kamu yang uring-uringan terus, nanti cepat tua lho,” kata Gelatik menggoda Pipit.
“Ah,
kamu bisanya cuma menyalahkan aku
saja,” kata Pipit sambil melempar Gelatik dengan sebuah ranting kecil. Gelatik
hanya tertawa saja melihat tingkah laku Pipit itu.
“Daripada
ngomongin kejelekan teman, lebih baik kita lanjutkan
mencari bekal kita,” kata Gelatik. Kemudian keduanya terbang meninggalkan pohon
itu.
===
Musim
kemarau yang ditakutkan kini benar-benar datang. Setiap hari angin kering
bertiup kencang di padang itu. Hujan pun sudah tidak pernah datang lagi. Padang
luas yang subur itu sedikit demi sedikit menjadi kering. Rumput-rumput layu,
begitupun daun-daun yang dulu rimbun dan hijau. Kolam-kolam air menjadi kering.
Di
siang hari udara di padang itu sangat panas. Sebaliknya di malam hari udara
begitu dingin. Semua penghuni padang itu tidak berani keluar. Mereka lebih baik
tinggal di rumah mereka masing-masing sambil menikmati bekal yang dikumpulkan
selama ini.
Mawar
yang malas itu kini menderita. Ia sangat menyesal tidak mempersiapkan diri
untuk menghadapi musim kemarau yang panjang ini. Sekarang dia tidak bisa dengan
mudah mendapatkan makanan dan minuman di padang itu. Tubuhnya semakin lama
semakin lemah. Penampilannya yang dulu indah kini manjadi pudar. Tidak ada bekas
sama sekali keindahan yang dulu ia miliki. Wajahnya menjadi pucat dan kulitnya
keriput karena kekurangan air.
Kaktus
yang melihat kondisi Mawar itu sangat iba kepadanya. Beberapa kali Kaktus
menawarkan bantuan tetapi selalu ditolaknya. Harga diri Mawar yang berlebihan mencegahnya
menerima bantuan dari yang lain, apalagi dari Kaktus. Selama ini ia selalu
mengejek Kaktus, tetapi Kaktus tidak sakit hati.
“Mawar,
ambillah makanan dan minuman dariku,” kata Kaktus kepada Mawar pada suatu siang
yang sangat panas.
“Tidak!
Aku tidak butuh bantuanmu!” teriaknya pada Kaktus.
Sebenarnya
tubuh Mawar sudah sangat lemah, namun sekali lagi harga dirinya yang berlebihan
mencegahnya meminta bantuan. Setiap hari Kaktus masih menawarkan bantuannya
tetapi selalu ditolak. Sampai suatu hari tiba-tiba terdengar bunyi ledakan yang
amat keras. “Dar!” bunyi itu sangat keras sehingga membuat penghuni padang itu
terkejut. Ternyata bunyi itu berasal dari kliat yang menyambar padang yang kini
tandus itu. Sambaran kilat itu menyebabkan sema-semak dan rumput kering
terbakar. Semaikin lama kebakaran itu semakin meluas dan akhirnya sampai ke
tempat Mawar dan Kaktus.
“Mawar…Mawar…cepat
ke sini! Berlindunglah di belakangku!”
teriak Kaktus kepada Mawar. Tetapi Mawar sudah sangat lemas. Ia sudah tidak
bisa lagi menggerakkan tubuhnya. Kaktus melihat bahaya yang akan menimpa Mawar,
dan dengan cepat Kaktus meloncat dan dan melindungi Mawar dari api.
Kaktus mendekap
erat-erat Mawar yang sudah tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Kaktus memang
memiliki kelebihan dalam dirinya. Tubuhnya yang bisa menyimpan air membuatnya
tidak cedera meskipun terkena api.
Setelah
api dari kebakaran itu melewati mereka, Kaktus bernapas lega. Segera ia
menggoncang-goncangkan tubuh Mawar yang berada di pelukannya.
“Mawar!
Mawar!” panggil Kaktus merasa was-was. Mawar masih terdiam. Rupanya ia pingsan.
Kemudian Kaktus mengangkat tubuh Mawar dan diletakkan di bawah pohon yang masih
agak rindang.
Tidak
lama kemudian Mawar pun sadar. “Di mana aku?” tanya Mawar segera setelah ia
sadar.
“Kamu
di sini bersamaku, Mawar. Sekarang kau sudah aman,” kata Kaktus perlahan-lahan.
“Oh,
kepalaku pening sekali,” kata Mawar sambil memegangi kepalanya.
“Jangan
banyak bergerak. Istirahatlah dulu,” kata Kaktus.
“Apa
yang terjadi? Ketika api itu semakin mendekatiku, aku tidak tahan lagi lalu aku
tidak ingat apa-apa,” kata Mawar dengan lemah.
“Siapa
yang telah menyelamatkan aku?” tanya Mawar masih dengan suara lemah. Kaktus
yang mendengar pertanyaan itu diam saja. Ia duduk di sisi Mawar sambil
memandang padang luas yang kini tandus. Sisa asap kebakaran masih terlihat di
sana-sini.
Sambil
terbaring lemah, Mawar menoleh ke kanan dan ke kiri mencari penghuni lain di
sekitarnya, namun ia tidak menemukan siapa-siapa kecuali Kaktus yang sedang
duduk di sampingnya.
“Kaukah
yang telah menyelamatkan aku?” tanya Mawar kepada Kaktus. Kaktus hanya
mengangguk lemah sambil masih memandangi padang yang tandus itu.
Tidak
terasa mengalirlah air mata Mawar. Terbayang semua kesalahannya selama ini.
Kaktus yang sering ia ejek, kini telah menyelamatkannya. Dengan terbata-bata ia
berkata kepada Kaktus.
”Terima kasih,
Kaktus. Maafkan perbuatanku padamu selama ini.”
“Sudahlah
Mawar, lupakan saja,” kata Kaktus sambil tersenyum kepada Mawar. Mendengar
jawaban dan senyuman Kaktus yang tulus itu, semakin berderailah air mata Mawar.
Ia sangat menyesali perbuatannya selama ini.
“Sudahlah,
lupakan semuanya,” kata Kaktus sekali lagi. “Sekarang kau butuh air untuk
mengembalikan tenagamu. Minumlah air dariku ini,” kata Kaktus sambil meneteskan
air ke mulut Mawar.
Tubuh
Mawar sedikit demi sedikit menjadi segar kembali. Wajahnya sudah tidak begitu
pucat. Kemudian Mawar duduk di samping Kaktus. Mula-mula ia merasa kikuk,
karena teringat perbuatannya pada Kaktus.
“Sekali
lagi aku mengucapkan terima kasih,” kata Mawar sambil menunduk.
“Aku berjanji tidak
akan mengulangi perbuatanku lagi,” lanjutnya.
“Apakah
kamu juga mau mengucapkan janji yang lain?” tanya Kaktus.
“Janji
apa?’ tanya Mawar ingin tahu.
Kaktus
ragu-ragu sejenak, lalu katanya,”Janji bahwa kita akan menjadi teman dalam suka
dan duka.”
“Ya,
Kaktus, aku berjanji,” kata Mawar sambil tersenyum. Lalu mereka saling berjabatan
tangan. Mulai saat itu mereka bagai tak terpisahkan. Di mana ada Kaktus di situ
ada Mawar.
===TAMAT===
KISAH RAJAWALI DAN ANGSA
Udara
pagi ini masih terasa dingin. Embun masih bergelantungan di pucuk-pucuk daun.
Matahari pun masih enggan bangun dari tidurnya. Namun demikian satu keluarga
angsa sudah berada di sungai. Mereka adalah induk angsa dan tiga anaknya.
Mereka
setiap pagi pergi ke sungai untuk mandi dan mencari makan. Banyak ikan kecil di
sungai itu yang menjadi santapan mereka. Kadang-kadang mereka juga mencari
cacing dan kepiting.
Mereka tampak riang
gembira. Kadang-kadang menyelam, kadang-kadang berlari-lari di atas air sambil
mengepak-ngepakkan sayapnya. Ibu angsa sangat gembira melihat perkembangan
anak-anaknya. Semua anaknya sehat dan kuat karena tidak pernah kekurangan
makanan di sungai itu.
Ketika
pulang kembali ke rumah, Ibu Angsa selalu mengajak anak-anaknya melalui jalan
yang memutar. Sebenarnya rumah mereka tidak begitu jauh dari sungai itu. Ibu
Angsa memiliki maksud tertentu mangajak anak-anaknya lewat jalan yang berputar.
“Kenapa
kita memilih jalan yang jauh, Bu, kan jalan yang dekat ada?” tanya anak-anaknya
suatu hari.
“Anak-anakku,
udara pagi masih bersih dan segar, oleh karenanya sangat baik bagi tubuh kita.
Berjalan-jalan di pagi hari membuat badan kita kuat dan sehat. Kalian
mengerti?” ucap Ibu angsa kepada anak-anaknya.
“Ya,
Bu,” jawab anak-anak angsa itu serempak.
“Lagi
pula kita bisa berjumpa dengan tetangga-tetangga kita. Kita bisa saling
menyapa. Itu akan menambah erat persaudaraan kita dengan yang lain, dengan
demikian akan terbina kerukunan antar warga yang tinggal di tempat ini,” terang
Ibu Angsa pada anak-anaknya. Anak-anak angsa itu mengangguk-ngangguk tanda
mengerti.
Di
sebuah rumah yang besar mereka bertemu dengan Rajawali yang sangat besar.
Paruhnya yang besar dan melengkung itu tampak sangat menakutkan. Anak-anak
angsa itu takut sekali. Mereka bersembunyi di belakang ibu mereka.
“Ibu,
takut, Bu,” kata anak-anak angsa itu sambil gemetar.
“Jangan
khawatir! Meskipun wajah Rajawali itu tampak
kasar, sebenarnya dia baik hati,” kata ibu angsa menenangkan anaknya.
“Selamat
pagi, Rajawali,” sapa Ibu Angsa.
“Oh,
kau Angsa. Selamat pagi,” jawab Rajawali dengan suara berat dan besar.
“Siapa yang
bersamamu itu?” tanya Rajawali kepada Ibu Angsa.
“Oh,
ini anak-anakku,” jawab Ibu Angsa.
“Anak-anak,
berilah salam pada Paman Rajawali,” ucap Ibu Angsa pada anak-anaknya.
“Selamat
pagi, Paman,” sapa anak-anak itu dengan takut-takut.
“Angsa,
kelihatannya anak-anakmu takut padaku,” kata Rajawali sambil melihat anak-anak
itu.
“Benar
Rajawali mereka takut padamu,” jawab Ibu Angsa
“Ho…Ho…Ho!”
Rajawali tertawa dengan suara berat.
“Jangan takut
anak-anak, asalkan kalian tidak nakal, Paman tidak akan galak kepada kalian,”
ucap Rajawali.
“Nah,
anak-anak, kalian sudah mendengar sendiri, Paman Rajawali itu baik, asalkan
kalian juga baik. Anak-anak angsa itu tidak berkata apa-apa, hanya
menganggukkan kepala saja.
“Omong-omong,
sedang apa kau Rajawali?” tanya Ibu Angsa.
“Aku
sedang membenahi atap rumahku. Tadi malam angin bertiup kencang, sebagian atap
itu terbang terbawa angin,” kata Rajawali sambil menunjuk atap rumahnya yang
menyibak.
Atap rumah itu
dibuat dari daun-daunan dan ilalang yang sudah kering. Ketika angin bertiup
kencang sering menyibak dan terbawa angin.
“Bolehkah
aku mengajukan usul?” tanya Ibu Angsa kepada Rajawali.
“Tentu
saja. Bagaimana pendapatmu, Angsa?”
“Supaya
atapmu tidak mudah tertiup angin, sebaiknya kau ikat dengan tali,” usul Ibu
Angsa.
“Ya,
kau benar Angsa, tapi bagaimana aku bisa mendapatkan tali itu?” ucap Rajawali
sambil garuk-garuk kepala.
“Jangan
khawatir, aku dan anak-anakku akan membantumu mencari tali,” kata Ibu Angsa.
“Ah,
aku jadi merepotkanmu saja saja.”
“Tidak
apa-apa, sebagai tetangga kita kan harus tolong-menolong.”
“Terima
kasih, Angsa.”
Kemudian
Ibu Angsa dan anak-anaknya pergi ke dalam hutan. Mereka mencari bahan-bahan
yang bisa untuk membuat tali.
“Nah,
itu anak-anak ada beberapa pohon pisang. Kita bisa memanfaatkan gedeboknya
untuk membuat tali,” kata Ibu Angsa sambil menunjuk beberapa pohon pisang yang
tumbuh tidak jauh dari tempat mereka.
Lalu
mereka mengambil beberapa kulit batang pisang itu. Selanjutnya kulit batang
pisang itu mereka kelupas menjadi bagian-bagian kecil seperti tali.
“Nah,
anak-anak kita sudah mendapatkan tali. Mari kita kembali ke tempat Paman
Rajawali.”
Tidak
lama kemudian, mereka sudah sampai kembali ke tempat Rajawali. Ketika mereka
sampai di situ Rajawali sedang menyusun dan merapikan atap yang tadi rusak.
“Rajawali,
kami sudah mendapatkan tali,” teriak Ibu Angsa pada Rajawali yang masih berada
di atas atap rumahnya.
“Oh
ya, baik aku akan turun,” kata Rajawali sambil melayang turun.
Ibu
Angsa lalu menyerahkan tali itu kepada Rajawali.
“Ini
talinya,” ucap Ibu Angsa sambil menyerahkan tali itu.
“Banyak sekali
talinya, Angsa!”
“Supaya
atapmu menjadi kuat,” ucap Ibu Angsa sambil tersenyum.
“Aku
ucapkan terima kasih atas bantuanmu, dan juga anak-anakmu yang baik itu,” kata
Rajawali sambil tersenyum kepada anak-anak angsa itu.
“Tapi,
aku masih butuh sedikit bantuan kalian,” ucap Rajawali.
“Dengan
senang hati. Apa yang bisa kami bantu?,” tanya Ibu Angsa.
“Mengikatkan
tali-tali ini pada atap,” jawab Rawali.
“Biarlah
anak-anakku membantumu.”
Ibu Angsa kemudian
menyuruh anak-anaknya membantu Rajawali. “Kalian bantu Paman Rajawali, ya,”
suruh Ibu Angsa.
“Baik,
Bu,” jawab mereka serempak.
Kemudian
mereka dengan cekatan membantu Rajawali memperbaiki atap rumahnya.
Beberapa
waktu kemudian Rajawali dan anak-anak angsa itu sudah selesai memperbaiki atap
yang rusak. Kini atap ilalang tiu tampak kuat, tidak mudah diterbangkan angin
lagi.
“Terima
kasih anak-anak, ternyata kalian cekatan sekali,” kata Rajawali.
“Sama-sama,
Paman,” ucap anak-anak angsa.
“Sekarang
kita istirahat sebentar. Mari masuk ke rumahku! Kita makan dan minum seadanya,” ucap Rajawali.
“Terima
kasih, Rajawali, kami akan langsung pulang saja,” ucap Ibu Angsa.
“Kenapa
tergesa-gesa? Kalian pasti lelah setelah membantuku tadi,” kata Rawali kepada
Ibu Angsa dan anak-anaknya.
“Kami
belum membersihkan rumah. Biasanya kami membersihkan rumah setelah kembali dari
sungai,” ucap Ibu Angsa.
“Baiklah
kalau begitu, sekali lagi aku sangat berterima kasih kepada kalian. Berkat
bantuan kalian, sekarang rumahku menjadi baik kembali,” ucap Rajawali.
“Kami
permisi dulu, Rajawali,” ucap Ibu Angsa.
“Baik.
Sewaktu-waktu jika kalian membutuhkan bantuanku, katakan saja. Aku pasti akan
membantumu,” ucap Rajawali.
Setelah
berpamitan, keluarga angsa itu pergi menuju rumahnya. Jarak rumah keluarga
angsa itu dengan rumah Rajawali lumayan jauh. Mereka harus melewati hutan yang
sepi untuk sampai ke rumah mereka.
Di
perjalan pulang, anak-anak angsa itu sangat gembira. Sambil berjalan, anak-anak
itu bercanda riang. Ibu Angsa tersenyum saja melihat tingkah laku anak-anaknya
itu.
“Anak-anak,
jangan jauh-jauh dari ibu ya!” kata Ibu Angsa memperingatkan anak-anaknya.
Memang jalan yang mereka lalui sangat sepi. Mereka harus berhati-hati. Ibu
Angsa selalu mengamati sekitar mereka.
Tiba-tiba
hatinya berdesir. Beberapa langkah di hadapan mereka, seekor serigala sedang
berdiri menghadang mereka. Mata serigala itu berkilat-kilat merah dan air
liurnya menetes dari mulutnya. Taring-taringnya yang putih dan tajam kelihatan
jelas sekali. Sangat menakutkan sekali!
Ibu
Angsa terpaku sejenak melihat serigala itu. Naluri keibuannya mengatakan ia
harus bisa melindungi anak-anaknya. Sedangkan anak-anaknya masih asyik bermain
sambil tertawa riang. Mereka belum menyadari bahaya akan menimpa mereka.
“Anak-anak,
berhenti dulu! Semua ke sini, dekat ibu!”
kata Ibu Angsa tanpa melepaskan pandangannya pada serigala itu. Anak-anak angsa
itu serempak melihat ke arah pandangan ibu mereka. Ketika mereka melihat
serigala itu, gemetarlah tubuh mereka.
“Ibu!”
ucap mereka sambil menghambur ke arah ibu mereka. Anak-anak itu bersembunyi di
belakang ibu mereka.
Sementara
itu, Ibu Angsa mencari akal untuk menyelematkan anak-anaknya. Ia harus bisa
memancing serigala itu menjauh dari anak-anaknya. Kalau tidak, anak-anaknya
pasti akan dimangsa serigala itu.
“Jangan
takut anak-anak,” kata Ibu Angsa menenangkan anak-anaknya. “Sembunyilah kalian
di semak-semak itu. Ibu akan mengusir serigala itu.”
Anak-anak
angsa itu menangis ketakutan. “Ssst…jangan menangis! Kalau kalian bersembunyi
sambil menangis, kalian akan mudah ditemukan,” kata Ibu Angsa memperingatkan
anak-anaknya.
Sambil
menuju ke semak-semak, ketiga anak angsa itu masih sesenggukan karena menahan
tangis mereka. Setelah anak-anaknya tidak kelihatan, Ibu Angsa itu menghela
napas panjang. Sebenarnya ia juga takut kepada serigala itu, namun demi
anak-anaknya ia singkirkan rasa takut itu. Ia harus tegar dihadapan anak-anaknya.
Setapak
demi setapak Ibu Angsa melangkah maju. Di hadapannya menunggu serigala buas
yang siap menerkamnya. Ia sudah memilki rencana untuk menjauhkan serigala itu
dari anak-anaknya.
“Ha,
ha, ha! Mau ke mana kau angsa? Kau tidak bisa lolos dariku. Kau akan menjadi
sarapanku pagi ini,” kata Serigala sambil menyeringai memperlihatkan taringnya
yang tajam dan runcing.
Ibu Angsa tidak
menjawab. Ia harus bisa menjaga jarak antara dirinya dengan Serigala.
Setelah
berada beberapa langkag saja dari Serigala, Ibu Angsa berhenti. “Ayo,
tangkaplah aku kalau kau bisa!” kata Ibu Angsa memanas-manasi Serigala.
Serigala merasa
diremehkan. Ia sangat marah kepada Ibu Angsa.
Dengan
pandangan yang tajam Serigala itu melihat Ibu Angsa. Kini ia mulai merunduk
siap menerkam mangsanya. Tepat ketika serigala itu meloncat hendak menerkam,
Ibu Angsa juga meloncat ke atas sambil mengepakkan sayapnya. Ia terbang
melewati serigala iru. Serigala itu sangat marah mengetahui mangsanya lolos. Ia
berbalik arah mengejar Ibu Angsa yang kini sudah mendarat lagi. Ibu Angsa
sengaja menunggu serigala itu berbalik mengejarnya. Ia harus memastikan
serigala itu tidak mengejar anaknya.
Setelah
mengetahui serigala berbalik arah mengejarnya, Ibu Angsa bersiap-siap terbang
lagi.
“Akan kukejar kau
sampai dapat!” teriak serigala marah sekali.
Setelah
terbang beberapa lama untuk menghidari serigala itu terasa tenaga Ibu Angsa
semakin lemah. Badannya yang gemuk tidak memungkinkannya terbang lama-lama.
“Biarlah aku menjadi
korban serigala itu asalkan anak-anakku selamat,” katanya dalam hati. Kini Ibu
Angsa sudah benar-benar tidak memiliki tenaga lagi. Ia meluncur deras ke tanah.
Tubuhnya yang gemuk itu berguling-guling
di atas tanah beberapa kali. Sekarang ia sudah pasrah. Ia hanya bisa
berdoa kepada Tuhan mohon keselamatan.
Ketika
serigala sudah bersiap menerkam mangsanya, tiba-tiba terdengarlah suara suitan
yang keras dan panjang. Beberapa saat kemudian dari angkasa terlihat sosok yang
sangat besar. Ia terbang cepat sekali ke arah Serigala. Sekejap saja, tahu-tahu
tubuh serigala itu sudah terangkat ke udara. Sosok yang ternyata Rajawali itu,
mencengkeram serigala dengan cakar-cakarnya yang kuat dan dibawanya terbang
menjauhi Ibu Angsa. Setelah dirasa cukup jauh Rajawali lalu melepaskan
cengkeramannya dan jatuhlah serigala itu. Kemudian Rajawali terbang menuju ke
tempat Ibu Angsa yang sedang kelelahan.
“Maafkan
aku Angsa, aku agak terlambat membantumu.”
“Jangan
berkata begitu Rajawali, kau telah menyelamatkan jiwaku.”
Setelah
hatinya agak tenang, teringatlah Ibu Angsa kepada anak-anaknya yang ia
tinggalkan.
“Oh, anakku,
bagaimana anak-anakku. Pasti mereka ketakutan,” ucap Ibu Angsa. Air matanya
menetes memikirkan nasib anak-anaknya.
“Jangan
khawatir Angsa! Anak-anakmu selamat.
Mereka sekarang berada di rumahku.”
“Oh,
syukurlah!” ucap Ibu Angsa lega.
“Itulah
sebabnya aku agak terlambat membantumu tadi. Aku harus menyelamatkan
anak-anakmu terlebih dulu.” kata Rajawali.
“Oh,
terima kasih banyak, Rajawali. Kau telah menyelamatkan aku dan anak-anakku,”
ucap Ibu Angsa sambil menangis bahagia.
“Sudahlah,
mari kau kuantar menemui anak-anakmu. Bersiaplah! Kau akan kubawa terbang
tinggi,” ucap Rajawali sambil mencengkeram tubuh Ibu Angsa dengan hati-hati.
“Tapi
jangan kau jatuhkan aku seperti serigala itu, ya!” kata Ibu Angsa bercanda.
“Kau
juga akan kujatuhkan tetapi di tempat yang empuk,” kata Rajawali sambil
tertawa. Lalu Rajawali pun terbang tinggi bersama Ibu Angsa.
===TAMAT===
MENCARI MATAHARI
By M. Tadir
Tersebutlah
sebuah tempat di dasar laut yang dalam sekali. Penghuni tempat itu tidak pernah
melihat matahari. Sinar matahari yang hangat tidak mampu menyinari tempat itu.
Oleh karenanya, tempat itu sangat gelap sepanjang waktu. Di tempat itulah Nomo,
si ikan kecil tinggal. Ia belum pernah melihat matahari sekalipun dalam
hidupnya. Ia ingin sekali melihat matahari yang tentu cahayanya sangat indah
dan hangat.
Suatu
hari di dalam tidurnya, Nomo bermimpi melihat matahari. Ia sangat mengagumi
matahari itu. Sinarnya yang putih kekuning-kuningan tampak sangat indah.
Matahari itu tersenyum padanya, sambil melambai-lambaikan cahayanya yang indah.
Hal itu membuat Nomo semakin ingin bertemu matahari.
===
Sudah
beberapa hari ini teman-teman Nomo melihat ada perubahan pada dirinya. Nomo
yang biasanya ceria bermain-main dengan mereka, sekarang tampak murung.
“Nomo,
apakah kau sakit?” tanya salah satu temannya.
Nomo
hanya menggelengkan kepalanya.
“Lalu
kenapa kau beberapa hari ini tampak muram?” tanya teman Nomo ingin tahu.
“Beberapa
waktu yang lalu aku bermimpi bertemu matahari,” jawab Nomo ogah-ogahan.
“Kenapa
dengan matahari itu?” tanya teman Nomo tidak mengerti.
“Aku
ingin melihat matahari, bukan hanya dalam mimpi,” ucap Nomo.
“Itu
tidak mungkin, Nomo. Tempat kita ini sangat jauh dari matahari,” ucap teman
Nomo.
Nomo
tidak menanggapi ucapan temannya itu. Ia hanya diam saja dan terus berpikir
bagaimana caranya bisa melihat matahari. Tekadnya sudah bulat, ia harus bisa
melihat matahari meskipun hanya sekejap.
===
Suatu
hari tanpa diketahui teman-temannya, Nomo memulai perjalanan yang sangat jauh
dan berbahaya itu. Setelah berenang agak jauh, timbullah keraguannya. Ia harus
berenang melintasi tempat-tempat yang berbahaya. Akan tetapi, apabila ia ingat
senyum matahari itu tekadnya menjadi bulat kembali.
Dalam perjalanannya
yang jauh itu, Nomo sudah tentu harus sangat berhati-hati. Ia tidak bisa begitu
saja berenang di laut yang terbuka. Ia harus mencari jalan yang aman.
Kadang-kadang ia berenang di antara tanaman laut yang rimbun. Kadang-kadang ia
harus berhenti d sebuah batu karang melihat-lihat situasi.
Namun demikian,
kadang-kadang tanpa diduga ia bertemu dengan beberapa ikan yang sedang mencari
makan. Jika ikan-ikan itu tidak begitu besar, ia bisa berenang bersama-sama
mereka. Dengan berenang bergerombol, keamanannya akan terjaga.
Suatu kali, ketika
Nomo sedang berenang sendirian, ia bertemu dengan seekor ikan hiu yang sangat
besar.
“He, ikan kecil mau
ke mana kau?!” bentak hiu itu. Nomo hanya terdiam. Mulutnya terasa berat untuk
berkata-kata karena takutnya.
“Ha, kebetulan aku
sedang lapar sekali. Kau akan kujadikan santapanku!” ucap hiu itu lagi. Nomo
masih terdiam sambil memikirkan cara bagaimana bisa lolos dari hiu itu.
Akhirnya ia memberanikan diri berbicara dengan hiu itu.
“Ja…jangan hiu,
jangan kau makan aku. Kau tidak akan kenyang menyantap aku,” kata Nomo
terbata-bata.
Hiu itu melihat
Nomo dengan tajam.
“Betul juga
katanya. Aku tidak akan kenyang menyantapnya,” pikir hiu itu.
“Jadi apa
maksudmu?” tanya hiu itu dengan garang.
“Kau ingin aku
melepasmu?” bentak hiu itu.
Nomo terdiam
sejenak. Ia sempat melihat hiu itu sering menggaruk-garuk badannya denga
siripnya. Oleh karena itu, ia mendapat ide untuk menyelamatkan dirinya.
“Moga-moga aku berhasil,” katanya dalam hati.
“Bagaimana kalau
kita adakan perjanjian?” tanya Nomo memberanikan diri.
“Perjanjian apa?”
tanya hiu itu.
“Perjanjian yang
saling menguntungkan,” kata Nomo.
“Bagaimana
caranya?” tanya hiu penasaran.
“Aku perhatikan
dari tadi kau sering menggaruk-garuk badanmu,” kata Nomo memulai rencananya.
“Ya, kau benar.
Beberapa hari ini badanku gatal-gatal,” kata hiu itu. Kali ini suara hiu itu
datar. Ia sudah tidak membentak-bentak lagi.
“Badanmu pasti
penuh jamur, makanya kau terasa gatal,” kata Nomo.
“Aku akan
membersihkan badanmu, tapi perkenankan aku ikut bersamamu ke manapun kau pergi.
Hiu itu tampak
berpikir. Memang sudah agak lama badannya terasa gatal sekali. Kadang-kadang
rasa gatal itu tidak tertahankan, sehingga ia sering bergulung-gulung di atas pasir
di dasar laut untuk menghilangkan rasa gatal itu. Oleh karenanya, hiu itu
memutusakan menerima perjanjian itu.
“Baiklah, aku
menerima perjanjian itu,” ucap hiu.
Nomo bersorak
gembira dalam hatinya. Kini ia sudah terlepas dari bahaya. Langkah selanjutnya,
ia harus melaksanakan perjanjian itu. Perjanjian itu juga sangat berguna untuk
keselamatannya selanjutnya. Ia akan berenang beriringan dengan hiu itu. Hiu
sangat ditakuti di lautan. Dengan berenang di dekat hiu itu tidak ada satupun
yang akan berani mendekatinya. Nomo kembali tersenyum di dalam hati. Ia sangat
bersyukur Tuhan telah memberinya jalan keluar dari bahaya.
Namun demikian,
perjalanan Nomo bertemu matahari masih jauh. Ia tidak boleh terlena, karena
sudah selamat dari hiu ganas itu.
“Sebenarnya kau mau
ke mana ikan kecil,” tanya hiu itu.
“Aku ingin bertemu
matahari,” jawab Nomo berbinar-binar.
‘Bertemu matahari?
Apakah kamu belum pernah melihat matahari?” tanya hiu heran.
“Belum,” jawab Nomo
sambil mengelengkan kepalanya.
“Asalmu dari mana,
ikan kecil?”
“Rumahku di bawah
sana, di dasar laut ini. Di sana setiap hari gelap karena sinar matahari tidak
pernah sampai ke tempatku,” ucap Nomo menerangkan.
“Baiklah, kau akan
kuantar sampai ke permukaan air. Tetapi permukaan air masih jauh dari tempat
ini. Kita masih perlu beberapa waktu untuk mencapainya. Itu karena badanmu
kecil dan siripmu yang kecil itu tidak bisa dengan cepat mencapai permukaan
air. Seandainya aku berenang sendiri tidak akan memerlukan waktu yang lama,”
ujar hiu itu.
“Tidak apa-apa, Hiu.
Aku punya banyak waktu. Sambil berenang ke permukaan kita nanti bisa
beristirahat dan mencari makan di terumbu karang yang kita lewati. Kau juga
perlu waktu banyak untuk menghilangkan jamur yang menempel di tubuhmu,” kata
Nomo kepada hiu itu.
Hiu itu
mengangguk-angguk, kemudian katanya,”Oh, ya kita sudah bertemu sejak tadi tapi
kita belum tahu nama masingmasing, biar aku tidak memanggilmu ikan kecil
terus,” kata hiu itu sambil tersenyum.
“Namaku Nomo,” kata
Nomo sambil mengulurkan siripnya kepada hiu.
“Aku Sharko,”
sambut hiu itu. “Mulai sekarang kita bersahabat.”
Dimikianlah, mulai
saat itu mereka bersahabat. Kerja sama kedua jenis ikan itu saling
menguntungkan mereka. Nomo bisa mendapatkan makanan dari jamur yang melekat di
tubuh Sharko. Ia juga mendapatkan rasa aman di dekat hiu itu. Sedangkan hiu itu
bisa membersihkan tubuhnya dengan bantuan Nomo.
Tidak terasa
perjalanan mereka sudah beberapa ratus meter dari dasar laut. Sharko harus
menyesuaikan kecepatan Nomo. Pelan tapi pasti keduanya terus berenang ke atas.
Sesekali mereka berhenti untuk beristirahat. Kini Nomo tidak harus
sembunyi-sembunyi lagi jika ingin beristirahat. Sharko akan melindunginya jika
ada ikan yang akan memangsanya.
Suatu kali karena
kelelahan mereka berdua tertidur di atas sebuah batu koral. Air di situ sangat
segar dan bersih. Beberapa ikan berenang ke sana ke mari. Tiba-tiba mereka
dikejutkan oleh arus yang sangat kuat. Arus itu melemparkan mereka dari atas
batu koral. Mereka terbangun dan melihat beberapa ekor paus sedang berenang di
dekat mereka.
“Mau ke mana
mereka?” tanya Nomo kepada Sharko.
“Mereka sudah biasa
berpindah-pindah tempat untuk mencari makan,” kata Sharko. Meskipun badan
mereka besar, makanan mereka ikan-ikan kecil.
“Ikan-ikan kecil?”
gumam Nomo pada dirinya sendiri. Sharko mengetahui kekhawatiran Nomo. Ia
berusaha menghiburnya.
”Jangan takut Nomo!
Mereka mencari ikan-ikan kecil yang
berkelompok-kelompok. Jadi kau aman di sini.”
Nomo menghela napas
panjang. Ia tidak perlu takut lagi, apalagi sekarang ada Sharko di sampingnya.
Ia pasti akan melindunginya jika ia dalam bahaya. Dalam hati Nomo berharap Sharko
tidak mengingkari janjinya.
“Ayo, Nomo, kita
lanjutkan perjalanan kita,” kata Sharko sambil mengibaskan pasir yang melekat
di tubuhnya.
“Tapi, sebentar
Nomo!”
Nomo melihat Sharko
penuh tanda tanya.
“Ada apa, Sharko?”
tanyanya.
“Sebenarnya aku
punya ide supaya lebih cepat sampai ke permukaan air,” ucap Sharko ragu-ragu.
“Katakanlah idemu itu,
Sharko!” kata Nomo berbinar-binar.
“Aku sangat ingin
cepat sampai ke permukaan air, dengan begitu aku akan segera bertemu matahari,”
lanjut Nomo.
“Maukah kau masuk
ke mulutku?” tanya Sharko kepada Nomo. Nomo tertegun sejenak mendengar
pertanyaan itu. Ia ragu-ragu untuk segera menjawab.
“Apakah ini bukan
siasat Sharko untuk memperdayanya?,” pikir Nomo.
Sharko melhat
keraguan di wajah Nomo. Ia ingin meyakinkan Nomo bahwa ia tidak bermaksud
jahat.
”Nomo, aku tahu kau
ragu. Selama ini kau telah merawat aku sehingga badanku tidak gatal lagi.
Sekarang tubuhku sudah bersih. Aku sekarang merasa sehat sepenuhnya. Untuk itu,
aku bersumpah tidak akan menyakitimu. Aku hanya ingin kau segera bisa bertemu
dengan matahari.”
Nomo dapat
merasakan ketulusan kata-kata Sharko. Maka ia bersedia melakukan apa yang
diinginkan katanya,”Baiklah Sarka, aku akan masuk ke mulutmu sekarang.”
Setelah Nomo masuk
ke mulutnya, segera Sarka mengatupkan mulutnya. Sekarang Sarka bebas berenang,
tidak takut lagi Nomo akan tertinggal. Segera ia mempersiapkan diri.
Sekejap kemudian,
Sarka telah melesat cepat sekali menuju ke permukaan air. Mula-mula air laut
itu masih gelap, lalu tampak remang-remang kemudian air laut itu menjadi terang
dan hangat.
Ketika Sarka telah
dekat dengan permukaan, ia berkata pada Nomo yang berada di dalam
mulutnya,”Nomo, bersiap-siaplah, aku akan mengeluarkanmu dari mulutku!” Nomo
yang mendengar perintah Sarka itu segera mempersiapkan diri. Dengan harap-harap
cemas ia persiapkan dirinya keluar dari mulut Sarka dan segera ia akan melihat
matahari.
Setelah dirasa
waktunya tepat, Sarka membuka mulutnya dan menghembuskan air dari mulutnya.
Hembusan itu sangat kuat sehingga Nomo terbawa arus air itu dan dengan cepat
menuju ke permukaan air. Oleh karena hembusan itu sangat kuat, tubuh Nomo
meluncur menembus permukaan air dan beberapa saat terbang di udara. Ketika di
udara itulah ia melihat matahari tersenyum padanya. Kemudian ia kembali terjun
ke air.
Dari bawah
permukaan air, Nomo tak bosan-bosannya memandangi matahari. Cahaya matahari itu
tampak berkilau-kilau indah sekali. Kini hilanglah rasa letih dari dirinya.
Terbayarlah sudah perjuangannya selama ini. Kini yang ada adalah rasa gembira
dan bahagia karena telah bertemu dengan matahari.
===TAMAT===
PETUALANGAN “5S” DAN MISTERI GUA HANTU
Libur
telah tiba! Murid-murid di SD Nusa Bangsa sangat gembira. Libur semester ganjil
ini cukup lama, sekitar 12 hari. Mereka akan memanfaatkan liburan dengan
kegiatan-kegiatan yang bermanfaat.
“Anak-anak,
selama liburan Bapak berharap kalian dapat memanfaatkan liburan ini untuk
kegiatan-kegiatan yang positif. Kegiatan yang positif sangat penting untuk
menunjang keberhasilan kalian kelak.” Begitulah pesan bapak Kepala Sekolah
kepada semua murid-murid di SD Nusa Bangsa.
“Apa
rencana kita untuk liburan kali ini?” tanya Andi kepada kawan-kawannya sekelas.
Andi dan kawan-kawannya sudah terkenal di sekolah itu sebagai lima sahabat.
Mereka berlima, Andi, Toni, Jaka, Dani dan David sering disebut oleh
teman-temannya Lima Sekawan. Mereka
sendiri menyebut persahabatan mereka dengan “5S”. Mereka sering berkumpul bersama. Makan di kantin sekolah
bersama-sama, berangkat sekolah bersama dan yang sering mereka lakukan adalah
belajar bersama. Tak heran jika mereka berlima sering mendapatkan nilai yang
bagus. Namun begitu, mereka tidak melupakan teman-teman mereka yang lain.
Mereka tetap baik kepada semua teman-teman mereka. Kebetulan saja mereka
bersama bertempat tinggal di satu desa, jadi selain di sekolah mereka juga
sering bertemu di rumah.
“Apa
rencana kita untuk mengisi liburan ini,” tanya Andi kepada teman-temannya
ketika mereka berlima sedang berkumpul di gardu ronda.
“Bagaimana
kalau kita memancing di sungai?” usul David.
“Ah,
itu kurang asyik. Kita sudah sering memancing di sungai,” sahut Toni.
“Jadi
apa, dong?” tanya Andi lagi. Mereka
berlima terdiam. Masing-masing memikirkan apa yang sebaiknya dilakukan selama
liburan ini.
“Aha!
Aku punya ide!” kata Jaka. Temannya heran mendengar itu. Jaka dikenal paling
pendiam di antara mereka. Biasanya dia hanya menurut saja ke mana
teman-temannya pergi.
“Apa
idemu, Ka?” tanya teman-temannya.
“Kita
kan sering nonton SI Bolang di
televisi. Bagaimana kalau kita melakukan petualangan seperti Si Bolang itu?”
usul Jaka.
“Tapi
ke mana kita akan berpetualang?” tanya David. Mereka berlima masih belum tahu
ke mana akan pergi. Pada intinya mereka setuju untuk melakukan petualangan,
hanya saja mereka belum tahu harus ke mana. Mereka akan memilih tempat yang
tidak begitu jauh dari desa mereka.
“Bagaimana
kalau kita berkemah di dekat gua itu?” usul Andi.
“Gua
yang mana?” tanya teman-temannya.
“Gua
yang terletak tidak jauh dari desa kita ini, di dekat hutan jati. Kata orang gua
itu agak aneh. Kadang-kadang beberapa orang mendengar suara seperti hantu dari
gua itu,” ucap Andi. Andi memang terkenal paling berani di antara mereka.
“Ah,
aku takut,” ucap Jaka.
“Lho, tadi kamu sendiri yang usul kita
melakukan petualangan,” kata Andi.
“Iya, tapi maksudku bukan di tempat itu,”
kata Jaka takut-takut.
“Kalau
begitu, kita berkemah di sebelah rumahmu saja,” ucap Dani sambil tertawa. Yang
lain pun ikut tertawa kecuali Jaka.
“Ah,
kalian senangnya cuma menggoda aku,” ucap Jaka sambil cemberut. Teman-temannya
kasihan juga melihat Jaka seperti itu.
“Sudah…sudah!
Kita tidak boleh bertengkar. Kita berlima harus kuat, kita tidak boleh terpecah
belah,” kata Andi kepada teman-temannya. Kemudian ia berkata kepada Jaka.
“Jaka, kamu tidak
perlu takut. Kamu nanti tidak sendiri. Kita akan selalu bersama-sama ke manapun
kita pergi. Kami tidak akan meninggalkamu sendiri di tempat itu,” kata Andi
kepada Jaka. Teman-teman yang lain mengangguk-angguk tanda setuju.
“Jaka,
maafkan aku. Aku tidak bermaksud mengolok-olok kamu,” kata David sambil
mengulurkan tangannya kepada Jaka. Jaka menyambut uluran tangan David. Mereka
saling bersalaman.
“Teman-teman,
mari kita teriakkan yel-yel kita.
Kemudian mereka berlima saling berpegangan tangan sambil meneriakkan yel-yel, ”One for all, all for one!” (Satu untuk semua, semua untuk satu).
===
Pada
hari yang telah disepakati mereka berkumpul di suatu tempat. Masing-masing
membawa bekal dan peralatan secukupnya. Masing-masing juga membuat ikat kepala
berwarna merah dengan tulisan PETUALANG-“5S”.
Mereka sudah bersepakat membuat tulisan itu. Tulisan 5S dibuat sedemikian rupa untuk mengingatkan bahwa mereka merupakan
lima sekawan yang tak terpisahkan. Setelah masing-masing memakai ikat kepala
itu timbullah keberanian pada diri mereka untuk menghadapi segala rintangan
yang mungkin akan dihadapi nanti.
Tak
lupa sebelum berangkat mereka berdoa kepada Tuhan agar selalu diberi
perlindungan selama petualangan mereka. Setelah berdoa, mereka segera
meninggalkan desa mereka menuju tempat yang telah mereka sepakati, yaitu di
sekitar gua itu.
Gua itu terletak di
pinggir hutan yang tidak begitu lebat. Sebelum sampai ke hutan itu, mereka
harus melewati perkebunan tebu yang luas. Setelah itu mereka harus menyeberangi
sungai yang tidak begitu besar. Air sungai itu sangat jernih. Pasir dan kerikil
di dasar sungai itu kelihatan dari atas permukaan air. Kadang-kadang mereka
menginjak batu-batu licin di sungai itu.
Setelah
sampai ke seberang sungai, mereka beristirahat sejenak untuk melepaskan lelah.
Ketika mereka sedang beristirahat sambil merebahkan diri di pinggir sungai,
mereka dikejutkan oleh langkah seseorang. Ternyata orang itu mendekati mereka.
Orang itu sudah agak tua. Ia menenteng parang di tangan kanannya.
“Siapa
kalian?!” tanya orang tua itu dengan suara keras.
“Kami
anak-anak dari desa seberang, Pak,” kata Andi sambil bangkit berdiri.
“Kenapa
kalian di sini?” tanya orang tua itu lagi.
“Kami
akan pergi ke Gua Hantu,” jawab Andi dengan tenang.
“Ke
Gua Hantu?” ucap orang tua itu setengah tak percaya.
“Ya,
pak,” ucap Andi meyakinkan orang tua itu.
“Orang-orang
di sini menghindari gua itu. Kenapa kalian malahan ingin pergi ke sana?”
“Kami
hanya ingin berkemah beberapa hari di sana. Saat ini sekolah kami sedang libur
dan kami ingin mengisi liburan dengan sedikit tantangan,” ucap Andi meyakinkan.
Sementara itu teman-teman Andi hanya diam saja mendengarkan percakapan mereka
berdua.
“Apakah
Bapak mengetahui mengapa gua itu disebut Gua Hantu?” Kali ini David yang
berbicara.
“Bapak
tidak tahu. Kami hanya mendengar turun-temurun dari orang-orang tua kami dulu,”
kata orang itu. Kali ini suaranya sudah melunak.
“Orang-orang
yang tinggal di desa ini memang kadang-kadang mendengar suara seperti suara
hantu dari gua itu. Hantu-hantu itu biasanya datang bersama-sama dengan
hembusan angin yang kencang.
“Maksud
Bapak suara hantu itu terdengar apabila ada angin kencang?” tanya David.
“Ya
begitulah,” ucap orang tua itu datar.
“Apakah
penduduk di sini pernah melihat wujud hantu itu, Pak?” tanya Andi.
“Bapak
belum pernah mendengar ada orang yang melihat hantu itu,” ucap orang tua itu.
Andi
dan teman-temannya hanya mengangguk-angguk. Setelah beberapa saat mereka
berbicara, Andi bertanya kepada orang itu ke mana ia mau pergi.
“Bapak
sendiri mau ke mana?”
“Bapak
mau ke perkebunan tebu itu.”
“Jadi
itu perkebunan milik Bapak?” tanya David.
“Bukan,
perkebunan itu milik sebuah perusahaan gula. Perusahaan itu menyewa tanah milik
warga di sini. Bapak termasuk salah satu penjaga perkebunan itu.”
“Oh,
begitu ya Pak?” ucap Andi.
Orang
tua itu ternyata orang baik. Hanya karena tugasnya, ia mesti berhati-hati
terhadap orang asing.
“Apakah
bekal kalian sudah cukup?” tanya orang itu.
“Sudah,
Pak. Bekal kami sudah cukup,” jawab Andi.
“Kalau
kalian mau, kalian bisa mengambil beberapa batang tebu itu untuk menambah bekal
kalian,” kata orang itu menerangkan kemudian.
“Terima
kasih atas kebaikan Bapak. Bekal kami sudah cukup,” kata Andi.
“Baiklah,
berhati-hatilah kalian. Kalau nanti kalian butuh bantuan, kalian bisa menemui
Bapak. Rumah Bapak tidak begitu jauh dari gua itu.”
“Terima
kasih, Pak,” sahut anak-anak serempak.
Kemudian
orang tua itu segera pergi menuju ke perkebunan tebu di seberang sungai.
“Ternyata
orang tua itu baik sekali ya,” kata Jaka pelan setelah orang tua itu pergi agak
jauh dari mereka. Teman-temannya hanya manganggukan kepala.
“Ayo,
kita teruskan perjalanan kita!” kata Andi sambil mengambil bawaannya.
Teman-temannya segera mengikutinya. Mereka masih harus melewati jalan setapak
di pinggir persawahan.
Tak
lama kemudian mereka sudah sampai di lokasi gua itu. Dari jarak yang masih agak
jauh, mereka melihat mulut gua itu. Gua itu tampaknya tidak terawat. Di sekitar
gua itu tumbuh semak belukar yang sebagian hampir menutupi mulut gua.
“Di
mana sebaiknya kita mendirikan tenda?”
tanya Andi kepada teman-temannya.
“Sebaiknya
jangan terlalu dekat dengan gua itu,” kata Jaka agak gemetar.
“Nah,
sebaiknya kita dirikan tenda di antara dua pohon jati itu.” Kali ini Toni yang
berbicara. Toni terkenal paling pendiam di antara mereka, namun ia memiliki
banyak ide.
Mereka
lalu menyiapkan peralatan yang dibutuhkan untuk mendirikan tenda. Mereka mulai
mengeluarkan patok-patok, tali dan juga tenda. Mereka dengan cekatan mendirikan
tenda itu. Selang beberapa saat tenda itu telah berdiri.
“Sekarang
kita cari ranting-ranting kering untuk membuat api unggun nanti malam,” kata
Andi kepada teman-temannya.
Merekapun
segera berpencar untuk mencari ranting-ranting kecil yang sudah kering. Ketika
sedang sibuk mencari ranting, Jaka berteriak-teriak sambil berlari memanggil
teman-temannya. Teman-temannya terkejut mendengar teriakan itu.
“Ada
apa, Ka?” tanya teman-temannya.
“Ada
sesuatu bergerak-gerak di semak itu,” kata Jaka terengah-engah sambil menunjuk
ke sebuah semak.
“Mari
kita lihat ada apa di semak itu,” kata Andi.
Mereka lalu
mendekati semak-semak yang dimaksud Jaka. Sementara itu tangan Jaka memegang
erat tangan Andi.
“Jaka,
jangan terlalu kuat memgang tanganku!. Tanganku sakit,” kata Andi kepada Jaka.
Jaka segera melepaskan tangan Andi sambil tersipu malu. Setelah dekat dengan
semak-semak itu, mereka memukul-mukulkan ranting yang mereka pegang ke semak-semak
itu. Tiba-tiba muncul seekor ular yang tidak begitu besar dari semak-semak itu.
Secara spontan mereka meloncat ke belakang.
“Ular
apa itu?” tanya Andi.
“Sepertinya
itu ular gadung. Lihat warnanya yang hijau seperti daun. Itu cirri-ciri ular
gadung,” kata Toni.
“Akan
kita apakan ular itu?” tanya David.
“Sebaiknya kita
bunuh saja,” ucap Jaka.
“Jangan!
Sebaiknya kita singkirkan saja,” kata Toni.
“Bagaimana
kalau ular itu nanti kembali dan memasuki tenda kita?” tanya Jaka ragu-ragu.
“Tenanglah
Jaka! Apakah kamu sudah lupa kita pernah
mendapat pelajaran tentang ular di sekolah?” tanya Toni.
Jaka
menggelengkan kepala. Rasa-rasanya ia belum pernah mendapat pengetahuan tentang
ular di sekolah.
“Untuk
menghindari binatang melata masuk ke tenda kita, kita taburkan garam di
sekeliling tenda.”
“Ya,
kamu benar Ton,” sahut David.
“Baiklah,
nanti kita taburkan garam di sekeliling tenda. Tapi sebelumnya kita buang dulu
ular ini jauh-jauh,” ucap Andi.
Lalu dengan ranting
yang dipegangnya, Andi dengan hati-hati memungut ular itu dan melemparkannya
jauh-jauh.
“Ayo
kita lanjutkan mencari ranting kering sebelum malam tiba!” ajak Andi.
Merekapun lalu
mengumpulkan beberapa ranting kering. Setelah terkumpul banyak , mereka
mangatur ranting-ranting itu agar mudah dinyalakan. Mereka menyusun
ranting-ranting itu seperti bentuk piramida.
Ketika malam tiba mereka
membakar ranting-ranting itu. Selain digunakan sebagai penghangat badan, mereka
juga menggunakannya untuk merebus air dan membuat makanan instan (cepat saji).
Untuk menghilangkan
rasa penat, Dani mengambil seruling bambunya yang selalu dibawanya ke manapun
ia pergi. Dani pun mulai meniup serulingnya.
Dani memang pandai meniup seruling. Iramanya serulingnya mengalun menembus
kegelapan malam. Suara seruling yang ditingkahi suara-suara alam di malam hari
membuat mereka terkantuk-kantuk. Di sekitar mereka juga terdengar suara
jangkrik berderik-derik ramai sekali. Sesekali terdengar suara katak menimpali.
Namun tidak berapa
lama, angin kencang berhembus. Pohon-pohon di sekitar mereka bergoyang-goyang.
Suara daun-daun yang bergesekan bergemerisik ramai sekali. Daun-daunpun banyak
yang berguguran.
Tiba-tiba dari arah
gua terdengar suara mendengung. Suara itu bersamaan datangnya dengan hembusan
angin yang kencang itu. Jaka yang paling penakut di antara mereka menggeser
duduknya mendekati teman-temannya.
“Hantu itu
betul-betul ada,” bisiknya pada teman-temannya. Teman-teman yang lain diam.
Mereka memperhatikan dengan seksama arah suara itu.
“Suara itu memang
berasal dari gua,” ucap Andi.
“Ya, benar dari
gua,” sahut teman-temannya.
Suasana sangat
mencekam. Angin masih bertiup kencang. Suara ranting-ranting kering yang
berjatuhan ditingkahi dengan suara yang berasal dari gua itu menambah suasana
semakin mencekam.
Mereka masih
berdiam diri di sekitar api unggun. Dani masih memegang seruling bambunya
sambil bersandar pada sebuah pohon. Di hadapannya Toni duduk sambil memegangi
lututnya. Ketika Toni mengangkat kepalanya, ia melihat Dani sedang
menimang-nimang serulingnya. Toni sangat tertarik pada seruling itu.
Dipandanginya seruling itu dalam-dalam. Tiba-tiba sesuatu timbul dalam
pikirannya. Tanpa disadari ia tersenyum sendiri. Andi yang kebetulan sedang
melihatnya menjadi heran.
“Kenapa kamu senyum-senyum
sendiri, Ton?” tanya Andi.
“Lihat seruling
yang dipegang Dani itu!” kata Toni sambil menunjuk seruling itu.
“Maksudmu?” tanya
Andi heran. Teman-teman yang lain juga menjadi heran. Mereka lalu berkumpul
mendekati Toni. Mereka ingin tahu apa yang akan dilakukan Toni.
“Dan, coba kau tiup
serulingmu!” suruh Toni. Dani meniup serulingnya. Terdengar suara seruling itu
mengalun. Toni lalu bertanya pada teman-temannya.
”Kenapa seruling
itu bisa berbunyi?”
Teman-temannya
heran mendengar pertanyaan itu. Mereka semua tahu seruling itu berbunyi karena
ditiup oleh Dani.
“Apakah kalian tidak bisa melihat persamaan antara
seruling dengan gua itu?”
Teman-temannya
masih diam. Mereka belum bisa menghubungkan antara seruling dan gua itu.
“Gua itu kalau kita
perhatikan berfungsi seperti seruling. Ia sebagai jalan udara dari satu ujung
ke ujung yang lain,” kata Toni menerangkan.
“Seandainya
perkiraanku benar, pasti ada lubang di atas gua yang menembus ke dalam gua itu.
Lubang itu berfungsi seperti bagian seruling yang ditiup dan udara keluar dari
lubang gua yang kita lihat itu,” lanjut Toni sambil menunjuk lubang gua itu.
Teman-temannya hanya mengangguk-angguk saja.
“Besok kita
selidiki apakah benar-benar ada lubang di atas gua itu,” ucap Toni. Teman-temannya
mengangguk tanda setuju. Mereka kemudian masuk ke dalam tenda. Tak lama
kemudian mereka semua telah tertidur.
Keesokan harinya
mereka bangun pagi-pagi. Mereka kemudian membersihkan diri di sungai kecil yang
mengalir di dekat tenda mereka. Setelah itu mereka sarapan bersama-sama dengan
makanan seadanya.
Setelah matahari
agak tinggi, mereka mulai bersiap-siap pergi ke gua itu. Tak lupa mereka
membawa tongkat untuk berjaga-jaga seandainya mereka bertemu binatang di
sekitar gua itu. Mereka menyusur dari sisi barat gua. Gua itu menghadap ke
utara. Angin di daerah ini sering bertiup dari arah selatan. Di sisi barat gua
masih terdapat semak belukar liar. Hal itu menandakan bahwa tempat itu jarang
dilalui orang. Mereka harus menyibak semak belukar dengan hati-hati. Mereka menggunakan tongkat
mereka untuk memukul-mukul semak belukar sebelum mereka lalui. Kemungkinan ada
benatang berbisa yang bersembunyi di semak belukar. Maka dari itu, mereka harus
berhati-hati sekali.
Tak lama kemudian,
mereka sudah sampai di sisi barat bagian atas gua . Mereka mulai mencari
tanda-tanda yang dikatakan Toni, kemungkinan adanya sebuah lubang di atas gua
itu. Sudah beberapa lama mereka mencari, namun mereka belum menemukan sebuah lubang
pun.
“Mungkin saja Toni
salah dan suara itu benar-benar berasal dari hantu penunggu gua itu,” pikir
mereka.
“Lihat, ada
sebongkah batu besar di sana. Mari kita lihat!”
Toni menunjuk ke
sebuah batu besar. Segera mereka mendekati batu itu. Setelah dekat, mereka
mengamati-amati sekitar batu itu.
“Aduh, kakiku
terperosok!” tiba-tiba Jaka terjatuh. Satu kakinya terperosok ke dalam sebuah
lubang. Yang lain terkejut melihat Jaka terjatuh. Segera mereka menolong Jaka
yang sebelah kakinya terperosok ke sebuah lubang. Lubang itu memang tidak jelas
kelihatan karena tertutup oleh semak belukar yang tidak begitu tebal.
Mereka lalu menyibakkan semak-semak
yang menutupi lubang itu.
“Lihat! Ada sebuah lubang di sini,” kata Andi kepada
teman-temannya. Mereka lalu menyingkirkan semak-semak di sekitar lubang itu.
Setelah semak-semak
itu dibersihkan, mereka melihat sebuah lubang yang tidak begitu besar.
“Ternyata Toni
benar, ada sebuah lubang di sini yang agaknya tembus ke dalam gua itu,” ucap
Andi.
Toni lalu
berjongkok di dekat lubang itu. Ia memeriksa lubang itu dengan seksama.
“Tolong ambilkan aku
batu yang agak besar!.”
Dani segera mencari
batu seperti yang diinginkan Toni.
“Ini, Ton,
batunya.”
Toni menerima batu
itu, kemudian sambil berjongkok ia memegang batu itu dan dilemparkannya ke
dalam lubang yang baru saja mereka temukan..
“Bum!”
Mereka mendengar
batu itu berbenturan dengan dasar gua.
“Benar rupanya,
lubang itu tembus ke dalam gua,” ucap mereka setelah mendengar benturan itu.
Kemudian pandangan
Toni tertuju pada sebongkah batu besar yang terletak di dekat lubang itu. Batu
itu letaknya di sebelah utara lubang yang mereka temukan. Toni berpikir
sejenak, kemudian ia menjentikkan jarinnya sambil berkata suara lantang.
”Aha! Kena kau
sekarang!”
Teman-temannya
terbengong-bengong.
“Apa maksudmu,
Ton,” tanya mereka.
“Coba lihat batu
itu!” Toni menunjuk ke sebuah batu besar yang terletak tidak jauh dari lubang
itu. Teman-temannya serentak melihat batu itu, akan tetapi mereka belum bisa
menangkap maksud Toni.
“Batu, lubang dan
hembusan angin yang kencang! Sekarang kita hubungkan ketiganya. Angin bertiup
dari arah selatan membentur batu itu. Sebagian udara yang membentur batu
kemudian masuk ke lubang. Udara yang mengalir deras ke dalam lubang itu
menimbulkan bunyi persis seperti seruling yang ditiup.”
Toni menerangkan
hubungan ketiga unsur itu kepada teman-temannya. Mereka terdiam dan sesekali
mengangguk-anggukkan kepala. Sekarang mereka mengetahui hubungan ketiganya:
batu, lubang dan hembusan angin.
“Bagaimana menurut
kalian?” Toni bertanya kepada teman-temannya.
“Kukira kau benar,
Ton.” Andi yang menjawab dan yang lain juga setuju.
“Jadi sekarang kita
sudah bisa memecahkan teka-teki tentang Gua Hantu ini,” kata Toni bangga.
“Kau memang hebat!”
teriak teman-teman Toni.
“Bukan aku yang
hebat, tapi kita semua. Tanpa kerja sama yang baik kita tidak akan berhasil
memecahkan misteri ini,” kata Toni sambil tersenyum.
===TAMAT===
KISAH MATAHARI DAN ANGIN
By M. Tadir
Suatu
hari di kerajaan langit, matahari dan angin sedang duduk berdua. Mereka asyik membicarakan
tugas mereka masing-masing. Mereka berdua memiliki kekuatan untuk mengatur
kehidupan di dunia ini. Tuhan telah memberi mereka kekuatan untuk menjalankan
tugas mereka. Matahari setiap hari menyinari bumi tanpa merasa lelah. Angin pun
begitu pula setiap hari bahkan setiap saat berhembus di bumi tanpa merasakan
lelah sedikitpun.
Namun
demikian, sifat mereka berdua tidaklah sama. Angin memiliki sifat yang tinggi
hati, sedangkan matahari memiliki sifat yang rendah hati. Angin merasa ia lebih
kuat daripada matahari. Setiap saat ia tidak pernah berhenti menjalankan
tugasnya, sedangkan matahari hanya menjalankan tugasnya dari pagi sampai
petang. Setelah itu matahari beristirahat di malam hari.
“Aku
lebih kuat daripada matahari,” kata angin dalam hati.
“Akan kutunjukkan
bahwa aku lebih kuat daripadanya.”
Sifat angin yang
tinggi hati itu menjadikannya tidak mau disamakan dengan matahari. Ia merasa
lebih kuat, bahkan ia merasa yang paling kuat di antara ciptahan Tuhan.
Angin bermaksud
membujuk matahari supaya ia bersedia bertanding mengadu kekuatan.
“Hai,
Matahari! Sebenarnya sudah lama aku
ingin tahu siapa yang lebih kuat di antara kita,” ucap angin pada suatu hari.
“Ah,
kukira itu tidak perlu. Kita punya tugas masing-masing dari Sang Pencipta
kita,” ucap matahari.
“Kau
benar! Meskipun begitu, aku tetap ingin tahu
siapa sebenarnya yang lebih kuat di antara kita, kau atau aku!” ucap angin
memanas-manasi matahari.
Matahari
tetap berdiam diri. Ia tidak peduli siapa yang lebih kuat, yang penting ia bisa
menjalankan tugasnya dengan baik. Setiap pagi ia harus bangun lalu
menghangatkan bumi dengan sinarnya. Ketika malam hari ia tidur untuk
mengembalikan kekuatannya.
Namun
angin tetap mendesaknya terus, sampai matahari tidak punya pilihan lain kecuali
malakukan adu kekuatan dengan angin. Keduanya lalu turun ke bumi untuk mencari
cara yang bisa menunjukkan siapa yang lebih kuat.
Ketika
angin dan matahari melewati sebuah persawahan, mereka melihat seorang petani
sedang bekerja. Petani itu memakai caping di kepalanya. Matahari bermaksud
mempergunakan petani itu untuk menunjukkan kekuatan mereka.
“Hai,
Angin, aku punya sebuah cara untuk menunjukkan kekuatan kita,” ucap matahari.
“Bagaimana
caranya?” tanya angin ingin tahu.
“Kau
lihat petani itu?” tanya matahari kepada angin sambil menunjuk seorang petani
yang sedang bekerja di sawah.
“Ya,
lalu?” tanya angin penasaran.
“Kau
ingin tahu siapa yang lebih kuat di antara kita, bukan?” tanya matahari.
“Ya.”
Angin menjawab singkat.
“Nah,
siapa di antara kita yang bisa melepaskan caping itu dari kepalanya dia yang
lebih kuat,” kata matahari.
Mendengar
itu, angin bersorak gembira dalam hatinya. Jangankan cuma caping, pohonpun bisa
ia terbangkan. Angin sudah merasa pasti bahwa ia akan memenangkan pertandingan
itu. Dengan demikian matahari harus mengaku kalah dan juga mengakui bahwa angin
lebih kuat daripadanya.
“Sungguh bodoh
matahari. Kalau hanya menerbangkan caping itu apa susahnya? Aku bisa melakukan
yang lebih sulit dari itu. Aku sudah pernah menerbangan pohon-pohon besar,
bahkan aku pernah memorak-porandakan sebuah rumah yang besar dan megah.
Melihat
angin terdiam, matahari bertanya sekali lagi.
“Bagaimana menurut
pendapatmu? Apakah kau setuju?”
“Ya,
aku setuju.” Angin menjawab dengan mantap.
“Baik!
Siapa yang akan mulai lebih dulu?” tanya matahari.
“Aku!”
Cepat-cepat angin menjawab. Ia sudah yakin bahwa dengan mudah ia akan
menerbangkan caping itu. Dengan begitu, ia akan memenangkan adu kekuatan di antara
mereka berdua. Kemudian anginpun bersiap-siap menerbangkan caping itu dari
kepala si petani.
Sementara
itu, si petani merasa heran. Tidak ada mendung tidak ada hujan tiba-tiba angin
bertiup kencang. Karena takut capingnya terbawa angin, ia memegang erat
capingnya. Semakin kuat hembusan angin, semakin erat ia memegang capingnya.
Setelah beberapa saat, angin kencang itu mereda.
Angin
dengan sekuat tenaga mengeluarkan kekuatannya. Namun demikian, caping itu tidak
bergeming sedikitpun.
“Bagaimana? Apakah kau akan mencoba lagi?” tanya matahari.
Angin tampak kelelahan setelah tenaganya terkuras habis.
“Tidak.
Tenagaku sudah habis.” Angin menjawab sambil terbatuk-batuk. Ia merasa dadanya
sesak karena terlalu banyak mengeluarkan tenaga.
“Jadi,
sekarang aku bisa mulai?” tanya matahari. Angin hanya bisa menganggukkan
kepalanya pelan karena kelelahan.
Kini
giliran matahari mencoba melepaskan caping dari kepala si petani. Mula-mula
matahari memancarkan sinarnya yang hangat. Sedikit demi sedikit matahari
menambahkan panas sinarnya.
Di
bawah mereka petani itu merasakan teriknya sinar matahari. Sinar matahari
seakan-akan membakar tubuhnya. Ia bermaksud istirahat dahulu dan berteduh di
bawah yang rindang sembari menikmati bekalnya yang ia bawa dari rumah.
“Cuaca hari ini panas
sekali. Lebih baik aku beristirahat dulu.”
Lalu
petani itu melepaskan cangkulnya dan berjalan menuju ke sebuah pohon yang
rindang. Keringat bercucuran di wajahnya. Sambil duduk bersandar di sebuah pohon
yang rindang, ia melepaskan capingnya. Dikipas-kipasinya badannya yang penuh keringat
itu denga capingnya.
“Lihat
!” Matahari berkata kepada angin. “Caping itu sekarang sudah lepas dari
kepalanya.”
Seperti
tak percaya, angin melihat caping itu lepas dari kepala si petani. Ia sangat
malu kepada matahari. Ia sudah merendahkan kekuatan matahari. Ternyata,
kekuatannya tidak melebihi kekuatan matahari. Angin harus mengakui kekuatan
matahari melebihi kekuatannya!
“Kau
menang.” Angin berkata pelan sambil menundukkan kepalanya.
“Sebenarnya
tidak ada yang kalah dan menang. Kita memiliki tugas kita masing-masing. Tuhan
telah memberi kekuatan sesuai dengan tugas kita. Itu semua demi kelangsungan
kehidupan ini.”
Demikianlah,
akhirnya pertandingan itu dimenangkan oleh matahari. Lalu mereka berdua kembali
ke kerajaan langit. Angin sudah tidak menyombongkan dirinya lagi. Ia menyadari bahwa
di atas langit masih ada langit.
===TAMAT===
No comments:
Post a Comment