Mengganti Rencana Libur Keliling
Dunia dengan Berkunjung ke Kamp Pengungsian di Kupang
Suatu malam pada 1999 di sebuah
apartemen di Singapura. Pilot Singapore Airlines Budi Soehardi tengah makan malam dengan
anak-anak dan istrinya, Rosalinda Panagia Maria Lakusa. Sembari menyantap makanan, mereka
menonton tayangan televisi. Kebetulan, apartemen mereka menghadap ke Batam sehingga saluran
dari Indonesia bisa tertangkap. Santapan spesial dihidangkan untuk merayakan
saat di mana Budi bertugas di Korea, untuk Korean Airlines.
Ketika sedang asyik makan, tiba-tiba
sebuah berita membuat Budi dan Peggy, sapaan akrab
istrinya, terkesiap. Dari layar kaca, mereka menyaksikan kondisi pengungsi
Timor Timur di Atambua, Nusa Tenggara Timur, setelah konflik Timor Timur. Penampungannya
mengenaskan. Para pengungsi tinggal di dalam kardus-kardus yang dibuat menjadi
tempat berlindung. Anak-anak mengenakan selembar kain untuk baju. Sanitasi pun
tidak ada. Sehari-hari mereka hanya makan mi instan. Mi tersebut dimasak dalam
kaleng cat kosong. “Itu mengenaskan,” kata Budi.
Terkejut melihat tayangan
tersebut, Budi dan Peggy saling bertatap. Mereka punya pikiran yang sama:
menunda rencana berlibur ke luar negeri. Memang, awalnya mereka berencana untuk
berlibur keliling dunia dalam waktu 33 hari. Tepat pukul 11 malam, mereka
memutuskan untuk mengganti rencana liburan dengan kunjungan ke Kupang. “Mari
kita lakukan sesuatu yang berbeda. Kenapa kita tidak mengunjungi tempat itu
(kamp pengungsian) sekalian membuat liburan yang berbeda,” kata Budi kepada
Peggy.
Pria berusia 60 tahun ini
kemudian mengirim surat elektronik ke rekan-rekannya di Singapore Airlines
serta teman-temannya yang tinggal di Singapura, termasuk jemaat dari gereja
mereka. Budi mengatakan akan mengunjungi kamp pengungsian di Atambua dan
mempersilakan kawan-kawannya untuk mengulurkan bantuan. Perlahan-lahan bantuan
pun berdatangan. Tak sampai sebulan, jumlah sumbangan yang diterima Budi
mencapai 900 kilogram.
Sebelum ke Atambua, Budi dan
Peggy transit ke Jakarta. Mereka tinggal di sana tiga hari. Dengan uang yang
mereka kumpulkan sekitar 55 ribu dolar Singapura (sekitar 600 juta rupiah pada
saat itu), mereka berbelanja untuk tambahan bantuan yang akan disumbangkan.
Sebanyak tujuh ton mereka dapatkan di Jakarta.
Berkat bantuan seorang petinggi
di Pelni, Budi berhasil mengirimkan 15 ton sumbangan ke Kupang. Di Kupang,
mereka menyewa dua truk 18 roda untuk membawa bantuan ke Atambua. Perjalanan
Kupang-Atambua memakan waktu 9 jam.
Sepanjang perjalanan membawa
bantuan tersebut, Budi dan Peggy terus menerus mendapat bantuan yang memudahkan
jalan mereka. Perjalanan itulah yang membuat Budi yakin bahwa semua bantuan itu
adalah keajaiban yang diberikan Tuhan untuk kebaikan para anak telantar yang
akan ditemuinya.
https://ilovelife.co.id/blog/budi-soehardi-pilot-yang-jadi-pahlawan-bagi-anak-anak-telantar-di-kupang/,
diunduh, 8 Oktober 2020
Sang Raja dan
Sahabatnya
Suatu saat ujung jari sang raja
terpotong saat bermain-main dengan pisau. Raja pun panik melihat darah yang
memancar dari jarinya, namun sahabatnya hanya berucap “Semoga ini yang
terbaik”.
Raja pun naik pitam. Ia
memerintahkan prajutit untuk memasukkan sahabatnya kedalam penjara. Karena
dalam posisi genting semacam itu, si sahabat malah berkomentar “Semoga ini yang
terbaik.”
Prajurit pun menangkap sahabat
ini dan menyeretnya ke penjara. Saat diseret, ia juga berteriak “Semoga ini
yang terbaik.” Sang raja terheran sambil mengobati luka ditangannya. Hari-hari berlalu,
tiba waktunya sang raja untuk berburu. Ia melarang prajuritnya untuk mengawal
masuk ke dalam hutan karena ia ingin menikmati hobinya ini sendirian.
Sambil menikmati keheningan
hutan, sang raja terus berjalan mencari buruan yang akan ia tuju. Namun sayang
langkahnya terlalu jauh. Tiba-tiba ia ditangkap oleh gerombolan manusia
primitif yang tinggal di desa sekitar hutan. Raja berusaha menjelaskan siapa
dirinya pada ketua suku, tapi mereka tetap tak mau tahu.
Hari itu bertepatan dengan hari
persembahan suku tersebut pada sang dewa. Ketua suku memerintahkan raja yang
ditangkap untuk dijadikan tumbal pada perayaan kali ini. Sang raja menggigil
gemetar mendengar keputusan kepala suku. Ia segera didatangi algojo yang
memeriksa keseluruhan tubuhnya. Tiba-tiba wajah algojo itu berubah, ia berkata
kepada kepala suku. “Duhai pemimpin kami, orang ini tak layak dijadikan tumbal.
Ia memiliki cacat ditangannya.”
Ternyata salah satu syarat tumbal
yang dipersembahkan harus sempurna tanpa ada cacat. Akhirnya raja pun selamat
dan dibebaskan. Ia teringat pada kata sahabatnya dan langsung mengunjunginya ke
penjara.
Raja berkata, “Maafkan aku
sahabatku, sungguh benar perkataanmu. Semua yang terjadi adalah yang terbaik.
Jariku yang terpotong telah menyelamatkanku dari maut. Namun aku ingin
bertanya, apa yang menyebabkan engkau berucap “Semoga ini yang terbaik” saat
kau diseret ke penjara?
Sahabat itu menjawab, “Aku adalah
sahabat yang paling dekat denganmu. Bila aku tidak dipenjara, maka engkau akan
mengajakku berburu. Dan saat engkau selamat dan batal menjadi tumbal, maka
pasti aku yang akan dijadikan tumbal oleh mereka.” Sang raja tertawa dan
sahabat itu pun kembali bebas menghirup dunia.
Terkadang kita tak sadar atau
tidak mau mengakui bahwa pengetahuan kita sangatlah rendah dihadapan petunjuk
Tuhan yang berjalan di muka bumi ini. Banyak sekali sesuatu yang tidak kita
senangi, padahal dibaliknya ada kebaikan besar yang menanti. Andai kita
meyakini bahwa “yang terjadi adalah yang terbaik” maka tak ada lagi kata sedih
dan putus asa dalam kamus hidup kita.
Apapun masalah yang kita hadapi
akan menjadi ringan, karena kita telah yakin dibalik kerumitan atau masalah
yang menimpa ada kenikmatan yang tidak terbayang di benak kita.
https://initu.id/kisah-inspiratif-sang-raja-dan-sahabatnya-takdir-terbaik/,
diunduh, 13 Oktober 2020.
No comments:
Post a Comment